Program beasiswa Bidik Misi telah banyak, bahkan sangat banyak membantu putera-puteri bangsa ini untuk mengenyam pendidikan tinggi. Program ...

Transformasi Prestasi Anak Bangsa Menuju Prestasi Bangsa; Ajuan Terbuka Referensi Pemikiran untuk Memaksimalkan Peran Peserta Bidik Misi dalam Perbaikan Bangsa*

Program beasiswa Bidik Misi telah banyak, bahkan sangat banyak membantu putera-puteri bangsa ini untuk mengenyam pendidikan tinggi. Program Dikti yang telah memasuki tahun ketiga ini mengalami peningkatan kuota setiap tahunnya. Pada 2010, pemerintah memberikan kuota sebesar 20 ribu mahasiswa. Pada 2011, kuota penerima Bidik Misi ditambah menjadi 30 ribu mahasiswa. Kuota pada 2012 ini kembali diperbanyak, yakni 40 ribu untuk mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dan dua ribu mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Banyak kalangan terdidik berharap program ini mampu melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang “berprestasi”, baik akademik maupun non akademik. Terkait prestasi non akademik, ada fenomena meaning constriction. Yang tergambar pada benak mahasiswa sekarang biasanya prestasi non akademik adalah berupa capaian kejuaraan dalam berbagai macam kompetisi. Tidak heran, dengan adanya paradigma tersebut peserta bidik misi seringkali hanya didorong untuk mendapat IPK yang baik, umumnya lebih dari 2.75 sekaligus mampu menjuarai berbagai kompetisi sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing.

Memaknai kembali prestasi

Prestasi dapat dimaknai sebagai peningkatan capaian kebaikan dalam hidup. Dengan pemaknaan seperti ini maka prestasi tidak selamanya bisa diukur dengan peringkat atau urutan kejuaraan. Ia sangat erat kaitannya dengan perkembangan, pertumbuhan, dan kemajuan. Ia lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Ia lebih bersifat maknawi daripada formalistik.

Pemahaman di atas menjadikan cakupan prestasi menjadi sangat luas. Dalam konteks dunia kampus kita akan menemukan prestasi akademik, prestasi keorganisasian, prestasi entrepreneurship, prestasi kesenian, prestasi  olah raga, dan lain-lain. Dengan adanya diversifikasi yang sangat banyak terkait prestasi menjadikan makna yang terkandung dalam kata prestasi lebih humanis (manusiawi).

Lebih humanis lagi jika prestasi dikaitkan dengan kontribusi. Bisa dikatakan ada tiga level prestasi. Pertama adalah level Perbuatan. Pada level ini seseorang ingin atau mengejar prestasi lebih karena faktor eksternal. Landasan seseorang dalam berprestasi belum terlalu kuat, karena tujuan dari prestasi mereka lebih karena self estimate (capaian pribadi), seperti ingin diakui kehebatannya oleh orang lain, dipuji oleh orang lain, mendapatkan penghargaan dll. Mereka yang berada pada ini akan senantiasa terpengaruh lingkungan hidupnya

Kedua adalah karakter. Pada level ini prestasi seseorang merupakan implikasi dari karakter kesehariannya. Sehari-harinya mereka adalah orang-orang yang memiliki ambisi prestasi mulai dari hal-hal sederhana sampai pada hal-hal yang besar.

Ketiga adalah Kontribusi. Ini adalah level tertinggi dari prestasi. Mereka yang sudah mencapai tahap ini memiliki paradigma bahwa prestasi adalah kontribusi kebaikan bagi orang lain apa pun bentuknya. Sehingga bagaimanapun kondisi lingkungan yang ia tempati tidak akan mempengaruhi semangatnya untuk berprestasi dalam bidang apapun dengan berbagai macam bentuknya. Apa yang dilakukan Soekarno, Hatta, Syahrir dan founding fathers bangsa lainnya adalah contoh prestasi level ini. Mereka rela mewakafkan kehidupannya untuk orang lain. Di sinilah kaidah “sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” sangat relevan.

Keluar dari mainstream; memandang peserta Bidik Misi sebagai SDM strategis

Dengan pemaknaan ulang akan prestasi yang telah disiggung di atas, nampaknya tiap perguruan tinggi yang terdapat di dalamnya peserta Bidik Misi harus membuat dan merealisasikan konsep evaluasi yang lebih komprehensif lagi bagi peserta tersebut. Sehingga mereka yang memiliki prestasi selain kejuaraan berupa kontribusi keorganisasian, aktifitas sosial kemasyarakatan (volunteer dan penggagas bina desa, anggota forum mahasiswa nasional yang bergerak dalam pendidikan masyarakat, dll), capaian income yang tinggi sebagai entreprenuer yang mandiri, dedikasi dalam pengembangan seni dan budaya bangsa, dan sebagainya bisa diapresiasi dengan baik juga. Hal ini sangat penting untuk dilakukan terlebih jika ada harapan besar jika mereka kedepan akan menjadi kontributor perbaikan bangsa.

Selama ini ada paradigma mereka adalah weak human resources yang harus ditolong. mereka jarang dipandang sebagai sumber daya manusia strategis yang potensial. Padahal dari segi mentalitas pada umumnya mereka masih memiliki idealisme alami sebagai anak bangsa yang ingin merubah kondisi keluarga, masyarakat, dan lebih luas lagi bangsanya menjadi lebih baik. Kesederhanaan hidup juga seringkali dilihat sebagai kekurangan dari segi finansial yang mudah menjadikan seseorang gelap mata. Padahal kesederhanaan yang sudah menjadi life style sehari-hari karena notabene nya berasal dari keluarga menengah ke bawah menjadikan keunggulan tersendiri bagi mereka karena terbiasa dengan kondisi yang serba kekurangan.

Beranekaragamnya passion mereka merupakan potensi dari segi skill yang dapat dikembangkan. Apalagi selama ini mereka sering dipacu untuk mengembangkan minat dan bakatnya melalui berbagai kompetisi. Walaupun konsep kompetisi tidak bisa mengakomodir semua passion mereka, setidaknya cukup menjadi stimulus untuk berkembang. Kesuksesan dalam eksplorasi passion akan mengantarkan mereka menjadi creative community yang sangat potensial bagi perbaikan bangsa.

Kembali menyoal prestasi peserta Bidik Misi; menuju prestasi kolektif

Skala prestasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu prestasi individu dan prestasi kolektif. Sebenarnya prestasi kolektif merupakan akumulasi prestasi individu yang bersinergi. Tidak ada prestasi kolektif tanpa prestasi individu.


–Diki Saefurohman–


Terkait peserta Bidik Misi, sangat disayangkan jika prestasi-prestasi yang mereka capai dibiarkan berserakan menjadi prestasi-prestasi individu. Artinya, prestasi yang dicapai hanya untuk self estimate (capaian pribadi). Di sinilah pentingnya memahamkan ulang akan kewajiban mereka memperbaiki bangsa ini. Dengan pemahaman ini diharapkan prestasi-prestasi yang mereka capai di berbagai bidang dengan berbagai macam bentuknya (tidak hanya juara dalam sebuah kompetisi) digunakan untuk saling menginspirasi dan mendukung satu sama lain sebagai upaya bersama dalam memperbaiki bangsa. Dengan begitu tidak ada lagi perilaku saling mendiskreditkan karena perbedaan passion dan bentuk prestasi. Inilah yang dimaksud prestasi kolektif.

Kontinuitas prestasi yang sinergis dan tiga sektor kehidupan ala Grover; merajut prestasi bangsa

Setelah menyelesaikan masa kuliah di kampus, peserta Bidik Misi seharusnya bisa tetap menjaga mental prestatifnya yang telah terinternalisasi selama kuliah di kampus apalagi jika prestasi yang dimaksud adalah prestasi level kontribusi. Dalam hal ini kontinuitas menjadi nilai tersendiri yang mesti melekat pada prestasi tersebut.

Prestasi yang kontinu akan membuat mereka mampu berkiprah secara nyata di berbagai institusi strategis yang ada di ketiga sektor utama kehidupan masyarakat, yaitu Sektor Publik, Sektor Privat, dan Sektor Ketiga, sebagaimana digambarkan oleh Grover (1998) sebagai berikut :



Gambar di atas cukup memberikan penjelasan kepada kita tentang tiga sektor utama kehidupan masyarakat yang seringkali ita sebut kehidupan pasca kampus. Motivasi utama institusi-institusi di sektor publik adalah memberikan pelayanan kepada publik, seluruh anggota masyarakat, tanpa kecuali, apalagi tindakan diskriminatif. Selanjutnya, sektor privat, yang sering pula disebut sektor pasar, terdiri dari organisasi-organisasi yang semangat utamanya adalah mencari keuntungan melalui aktifitas-aktifitas menurut mekanisme pasar berdasrakan motif-motof ekonomi. Sementara itu, organisasi-organisasi yang berada pada sektor ketiga (third sector), pada hakikatnya berperan sebagai pelengkap bagi sektor publik dan sektor privat. Spirit utama organisasi-organisasi di sektor ini adalah mengambil peran komplementer terhadap pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat, dengan mengedepankan tanggungjawab individu dalam mengatasi tantangan-tantangan sosial. Sektor inilah yang paling banyak mengakomodir berbagai passion.

Dengan mobilitas sosial vertikal yang nyata di ketiga sektor kehidupan tersebut, diharapkan para alumni peserta Bidikimisi kemudian akan mampu berkontsibusi secara signifikan sebagai inspirator transformasi bangsa. Ini adalah proses yang sangat panjang dan kompleks. Akan tetapi dengan terbiasaya mereka saling bersinergi untuk membangun prestasi kolektif maka transformasi prestasi anak bangsa menuju prestasi bangsa bukanlah utopia.

“Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”


-Ki Hajar Dewantara-


*Artikel ini dilombakan dalam Semarak Bidik Misi IPB 2012 dan mendapat juara 1 kategori Blog Competition

6 komentar:

  1. actually, saya termasuk orang yang tidak setuju dgn ukuran prestasi berdasarkan nilai pelajaran. Hiks T___T #ingetrealita
    sayangnya orang2 punya anggapan sama semua. Si anu pinter soalnya semua nilai dia perfect. Calon mapres, calon mapres..

    eits, saya gamau jadi 'mapres'
    #mahasiswadepresi :P

    BalasHapus
  2. jangan2 kalau nilai pelajaran kita perfect semua kita gak bakal berfikir kayak gini? :D

    BalasHapus
  3. nah! :D
    itu yg pernah melintas di otak saya
    berkelana dan bongkar pasang alur berpikir, persis detik-detik terakhir menyusun puzzle. Sampai-sampai apa yang saya imajinasikan, karena rasa penasaran yang hebat, akhirnya saya nekat membuktikan itu semua. Mulai dari nilai perfect sampai nilai "kiamat sudah dekat"

    dan itu betul-betul perjalanan yang luar biasa :)
    ada teknik neuro linguistik disana.

    BalasHapus
  4. ngomong apa lagi nih. ora ngerti mba.

    BalasHapus
  5. apa lagi saya. :D
    maksudnya, dulu pas msh anak sekolahan saya pernah mikir ttg sesuatu yg persis kalimat diki; "jangan2 kalau nilai pelajaran kita perfect semua kita gak bakal berfikir kayak gini?"

    trus ceritanya kayak muhasabah gitu, saya merenung, menganalisa ttg cara berpikir begitu nanti bakal gimana. Akhirnya, krn merasa ga dapet jawaban puas dr siapapun, saya buktiin sendiri dgn prestasi sekaligus percobaan "bunuh diri" (coba ga serius dgn nilai-nilai pelajaran formal). Akhirnya ya saya tau jalan berpikir "org pinter krn nilai 100" sudah terkotak-kotak di kepala.

    baru tau belakangan kalo indikasi pola pikir model begitu (termasuk yg lain) bisa ketebak lewat Neuro Linguistik Programing.

    BalasHapus