Pengalaman pergi ke luar negeri bagi sebagian mahasiswa mungkin merupakan hal yang sangat istimewa, apalagi dalam rangka mengikuti kegiatan ilmiah. Akan tetapi bagi sebagian lainnya, itu hanya aktifitas tambahan yang jika kebetulan ada kesempatan dan modal uang, maka baru berangkat, jika tidak, ya nggak perlu sengaja diagendakan. Adapun saya sebenarnya dulu termasuk sebagian yang tidak terlalu berniat ke luar negeri kecuali untuk menempuh jenjang pascasarjana. Saya termasuk mahasiswa yang banyak disibukkan dengan urusan berbagai organisasi dan komunitas mahasiswa yang ada di kampus sehingga tidak terpikir sedikitpun untuk sengaja merencanakan mengikuti kegiatan ilmiah ke luar negeri.
Paradigma berpikir saya berubah setelah menjadi peserta PPSDMS Nurul Fikri. Program training pengembangan diri yang diasuh oleh Bang Bachtiar Firdaus cukup banyak memberikan inspirasi baru dalam benak saya. Biasanya Bang Bachtiar selalu menekankan agar kita menjadi manusia yang kaya akan pengalaman perjalan internasional, berwawasan global, dan jaringan yang luas. Seringkali saya dan peserta lain diingatkan untuk membuat paspor, kartu nama, mencari mentor, baca buku ini, buku itu dan lain-lain. Gaya amukan beliau kadang bikin nyali saya ciut tapi sekaligus menjadi daya dorong yang kuat bagi saya untuk berkembang.
Pengalaman pertama saya ke luar negeri adalah mengikuti Aceh Development International Coference di Kuala Lumpur, Malaysia. Acara tersebut diinisiasi himpunan mahasiswa Aceh yang kuliah di Malaysia. Untuk mengikuti acara tersebut, saya dengan tiga orang teman saya satu tim menyusun makalah ilmiah dengan judul Smarty Biobricket Stove. Ide kami sangat orisinil jadi dengan cukup mudah makalah kami lolos seleksi dengan catatan sedikit revisi.
Awalnya saya mempersiapkan dana terlebih dahulu. Yap, dengan berbekal jaringan yang saya punya, saya menghubungi beberapa orang yang menurut saya bisa mendukung dan memberi bantuan. Pengalaman menariknya adalah ketika saya menghubungi General Manager KBM Industri Non kayu Perhutanai Unit I Jawa Tengah, Pak Yuri yuriana. Saya berkenalan dengan beliau usai kuliah umum industri kehutanan non kayu yang diisi oleh beliau. Sesuai wejangan Bang Bachtiar, saya berkenalan dengan memberikan kartu nama. Jadi, ketika saya menghubungi beliau, beliau langsung ingat saya dengan cukup baik. Ajaibnya, setelah saya kirim proposal ke kantor beliau, beliau langsung transfer uang seharga tiket pulang pergi Jakarta-Kuala Lumpur.
Kemampuan bahasa asing dan paspor, akhirnya mengantarkan saya ke Malaysia. Saya lebih sering berkomunikasi dengan penduduk Malaysia menggunakan Bahasa Inggris walaupun sebenarnya mereka yang berasal dari ras Melayu sedikit banyak masih bisa memahami Bahasa Indonesia. Di samping karena penduduknya yang multi etnis, biasanya anggapan yang berbahasa Indonesia adalah TKI menjadi alasan tersendiri untuk tetap berkomunikasi dengan Bahasa inggris.
Ternyata benar, pengalaman perjalanan ke luar negeri mampu memberikan kesadaran ruang yang lebih baik dan menjadikan pikiran lebih terbuka (open mind). Kita bisa langsung melihat sendiri berbagai kemajuan yang dicapai negara lain, baik kemajuan materil maupun mentalitas bangsanya. Kemajuan yang sangat terasa di Malaysia adalah fasilitas publik yang sangat nyaman dan teratur.
Awal mula saya turun dari pesawat, langsung dibuat takjub oleh keteraturan dan fasilitas yang ada di sana. Semua serba mengantri dengan tertib. Begitu turun dari pesawat ada kereta khusus yang berputar-putar mengelilingi bandara mengantar penumpang menuju tempat bagasi dan bagian migrasi. Kemudian ketika masuk waktu salat, ada pemberitahuan dari pusat informasi bandara. Ini menjadi keunggulan tersendiri, modern dengan tetap merealisasikan ajaran agama. Di bawah bandara terdapat terminal pusat.
Banyak hal menarik selama menggunakan transporatsi umum di Kuala Lumpur. Untuk bepergian jarak dekat, sangat nyaman menggunakan Light Rail Transit (LRT). Itu adalah sejenis kereta otomatis. Mulai dari pelayanan karcis, masuk area tunggu penumpang, buka tutup pintu kereta, sampai keluar stasiun semua serba otomatis. Ya, kami dilayani oleh ‘robot’. Karcis yang digunakan seperti koin plastik yang sebertinya terdapat chip yang menyimpan data stasiun tempat kita berhenti. Itu kita dapat setelah kita ‘bertransaksi’ dengan mesin karcis yang bisa memberi kita kembalian jika kita memasukkan uang lebih dari ongkos perjalanan. Adapun jika di dalam kota ingin berkeliling, kita bisa menggunakan bis kecil dan taksi. Pertama kali kali saya naik bis kecil, begitu naik saya dan teman-teman langsung duduk. Awalnya kami bingung karena sopir bis diam saja dan kelihatan heran melihat kami. Akhirnya dia bilang seharusnya kami membayar dulu satu ringgit uang kertas (kurang lebih tiga ribu rupiah) dengan cara dimasukkan ke dalam mesin pembayaran dekat tempat sopir yang bisa langsung mengeluarkan karcis tanda bukti kalau kita sudah membayar ongkos bis tersebut. Huh, fasilitas yang serba otomatis dan teratur membuat saya dan teman-teman seolah-olah menjadi turis kampung yang ndeso banget.
Sore hari biasanya lalulintas cukup macet. Tapi anehnya jarang sekali terdengar bunyi klakson yang saling sahut-menyahut. Untuk meminimalkan kemacetan karena sepeda motor, ada jalur khusus kendaraan beroda dua. Uniknya motor di sana mayoritas motor sederhana, tidak banyak motor yang sesuai trend baru di Indonesia dan nomor platnya ditempel di kiri-kanan spakbor depan. O ya, halte untuk menunggu bis untuk laki-laki dan perempuan ternyata di sana dipisah. Para penumpang kendaraan umum lebih banyak diam, tidak ribut atau mengobrol seperti orang-orang di Indonesia. Itulah suasana di dalam kendaraan umum, hening. Adapun khusus di dalam LRT, lumrah dijumpai multi etnis, orang-orang China, India, Eropa, Arab yang sepertinya dari kalangan terpelajar. Ini terlihat dengan budaya baca bukunya. Itulah keunikan-keunikan lain selama menggunakan transportasi umum di Kuala Lumpur.
Di sana kami menginap di rumah kontrakan mahasiswa S2 University of Malaya, Mas Akbar. Lucunya, saya sebelumnya tidak mengenal dia sama sekali. Lagi-lagi ini adalah ‘berkah’ silaturahim dan jaringan. Jadi kronologi bisa bertemu dengan Mas Akbar begini, sebelum saya ke Malaysia, saya meminta bantuan salah satu dosen saya yang memiliki teman di sana. Dosen tersebut menghubungi temannya yang mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia supaya membantu saya mencari tempat tinggal di dekat tempat konferensi. Singkat cerita akhirnya selama perjalanan ke Kuala Lumpur saya berkomunikasi dengan teman dosen saya lewat BBM. Beliau memberikan kontak mahasiswa S2 kenalannya yang kuliah di University of Malaya, namanya Kak Pretty. Setelah tiba di Kuala Lumpur saya menghubungi Kak Pretty dan mencari alamat kontrakannya. Akhirnya saya menemukannya dan dikenalkan dengan Mas Akbar, temannya. Karena saya laki-laki jadi saya dan teman-teman diajak menginap di rumah kontrakan Mas Akbar. Bisa ditebak, ini tumpangan gratis.
Rumah kontrakan di Kuala Lumpur sebenarnya lebih mirip rumah susun dengan fasilitas yang cukup baik. Atau bisa dibilang rumah itu seperti apartemen sederhana dengan fasilitas ruang tengah, beberapa kamar tidur, kamar mandi, dan dapur. Fasilitas seperti ini sepertinya sengaja dibuat untuk masyarakat menengah ke bawah di Kuala Lumpur. Jadi di sana tidak ada perumahan kumuh seperti di Jakarta. Dengan fasilitas seperti ini, tempat tinggal masyarakat menjadi terpusat di gedung-gedung berupa ‘rumah susun’ seperti itu. tidak heran jika berkeliling kota kita akan melihat teraturnya tata kota di sana.
Saya mengikuti rangkaian acara konferensi selama tiga hari, dari tanggal 26-28 Maret 2013. Jadwal acara yang bertempat di University of Malaya itu cukup padat. Hari pertama setelah pembukaan langsung disambung dengan presentasi para pemakalah yang lolos seleksi. Ketika itu saya mendapat jadwal di hari kedua, sehingga bisa mempelajari terlebih dahulu bagaimana peresentasi para pemakalah lain. Adapun jadwal hari ketiga adalah tour keliling tempat-tempat wisata utama di Kuala Lumpur. Peserta konferensi diantar bis yang disediakan panitia mengunjungi Masjid Jamek, Tanah Merdeka, Istana Negara, Taman Putera Jaya, dan Twins Tower, Menara Petronas di KLCC. Selama kegiatan berlangsung saya banyak berkenalan dan saling tukar kartu nama dengan para peserta lain. Para peserta tidak hanya dari kalangan mahasiswa, akan tetapi ada juga dosen dan para peneliti.
Di luar jadwal rangkaian konferensi, saya dan teman-teman sempat berkeliling pusat perbelanjaan, kuliner, dan tempat hiburan rakyat. Salah satu tempat yang menarik adalah di Pasar Seni. Tempat itu ramai di malam hari. Di sana kami berbelanja souvenir dan sempat melihat pertunjukan tari khas Melayu. Para turis dari Eropa pun hilir mudik di sana. Kami sempat juga belanja macam-macam olahan cokelat di mini market yang terkenal murah. Adapun pagi-pagi biasanya kami sarapan di pusat jajanan rakyat. Roti Canai, Nasi Lemak, dan Teh Tarik menjadi menu sarapan sehari-hari. Malam harinya biasanya kami makan di tempat yang sama dengan menu yang berbeda. Setelah berbincang dengan pelayan di sana, kami baru tahu ternyata banyak orang Indonesia yang berprofesi sebagai pegawai warung makan, apakah itu menjadi pelayan atau juru masaknya.
Kurang lebih lima hari tinggal di Kuala Lumpur cukup banyak memberikan pengalaman, wawasan, sekaligus inspirasi baru. Walaupun saya merasa nyaman tinggal di sana, akan tetapi kerinduan akan tanah air membuat saya lebih tertarik untuk pulang dan kembali ‘menikmati’ Indonesia. Tentunya apa yang didapat di luar negeri tidak seharusnya membuat kita lupa akan negeri sendiri. Justru seharusnya menjadi bekal bagi kita untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
0 komentar: