Ketika Abdurrahman bin Auf tiba di Madinah ia tidak memiliki apa-apa. Semua hartanya berada di Mekah. Tapi ia sadar sebagai generasi yang pertama-tama masuk Islam ia memiliki tanggung jawab lebih untuk menunjang kehidupan sahabat yang lain. Apalagi ia terkenal sebagai pembisnis. Setidak-tidaknya ia harus mandiri secara ekonomi terlebih dahulu.
Memang berat. Apalagi tugas dakwah di Madinah memasuki era siyasi-dauli, era politik kenegaraan. Tapi dalam kondisi demikian Abdurrahman bin Auf berkata kepada kaum Anshar, “Tunjukanlah aku pasar, tahanlah rumah, harta, dan istri-istri kalian.” Dalam waktu singkat tiba-tiba saja ia menjadi penguasa pasar.
Berbeda dengan Abdurrahaman bin Auf, Abu Ayub Al-Anshori berasal dari kaum Anshar, tentunya ia baru masuk Islam menjelang Rasulullah hijrah. Secara kapasitas ilmu syari’ah ia jauh berbeda dengan Abdurrahman bin Auf. Tapi ia sadar bahwa ia harus mengakselerasi diri. Jika tidak, ia akan terseret-seret dalam perjalanan dakwah. Ia tahu bahwa ketahanan dalam perjuangan berbanding lurus dengan pemahaman apa yang diperjuangkannya. Bersamaan dengan itu ia punya tanggung jawab mengamankan kekuatan politik dan teritorial Madinah karena ia adalah salah satu pemuka suku di sana.
Memang berat. Abu Ayub memiliki kapasitas ilmu syari’ah dan beban yang tidak seimbang ketika itu.Tapi ia berhasil melewat masa itu. Sampai akhirnya ia tercatat sebagai salah satu syuhada pada usaha pembebasan konstantinopel yang pertama.
Kedua manusia sejarah itu memiliki perbedaan kisah. Tapi ada kesamaan. Mereka berdua dan para sahabat yang lainnya memiliki sesuatu membuat mereka berhasil melewati ujian; membuat mereka bertahan; membuat mereka berhasil bertemu dengan Rabnya secara terhormat. Itulah quwwatu tahammul; daya pikul.
Ketika mereka masuk Islam mereka sadar bahwa mereka merdeka secara eksistensi materialistik dan dituntut untuk menjadi manusia-manusia sejarah. Mereka sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang lebih dari orang-orang pada umumnya. Mereka sadar bahwa mereka harus memiliki daya pikul yang sangat kuat untuk menahan beban dalam mengemban risalah nubuwwah, risalah kenabian.
Mengagumkan. Secara suka rela kita mengagumi mereka, para manusia sejarah yang memiliki daya pikul yang sangat kuat; tidak mengeluh akan beban, tidak melarikan diri dari tanggung jawab, tidak takut akan kesulitan hidup. Tapi ini masalahnya. Kita terkadang pandai mengagumi tetapi tidak pandai meneladani.
Tapi, setidak-tidaknya kita tahu bahwa kematangan ruh, pemikiran, dan jasad; keikhlasan amal, keluhuran akhlaq, kemampuan belajar dengan benar dan cepat, kekuatan militansi, kekokohan jasmani merupakan mata air quwwatu tahammul mereka. Dan mata air itu ada ketika iman mereka memadai untuk menghadirkannya.
Ketika Abdurrahman bin Auf tiba di Madinah ia tidak memiliki apa-apa. Semua hartanya berada di Mekah. Tapi ia sadar sebagai generasi yang pe...
Quwwatu Tahammul
About author: Diki Saefurohman
Pribadi yang tertarik dengan dunia sains, filsafat, dan politik. Penikmat sejarah dan sastra. Sedang mendalami dunia bisnis dengan pendekatan praktis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
"Ketika mereka masuk Islam mereka sadar bahwa mereka merdeka secara eksistensi materialistik dan dituntut untuk menjadi manusia-manusia sejarah. Mereka sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang lebih dari orang-orang pada umumnya."
BalasHapusMari, mengukir sejarah kehidupan kita dengan pena atau apapun yang kita cintai dan ikhlas untuk melakukannya.
Bravo, Bung!
Ok sip
BalasHapus