Di penghujung Ramadhan, perlu kiranya kaum beriman (mukmin) melihat ke dalam diri mempertanyakan apakah sudah mencapai ketakwaan sebagaimana yang dimaksudkan ayat “la’allakum tattaquun”? Untuk mempermudah kita menjawab pertanyaan tersebut, kita coba uraikan makna takwa dan pemahaman terhadap konteks makna tersebut.
Dalam kitab-kitab
klasik, biasanya takwa diartikan sebagai “imtitsalul
awaamir wajtinaabun nawahi”, menjalankan apa yang diperintahkan (perintah-perintah)
dan menjauhi apa yang dilarang (larangan-larangan). Jadi secara harfiah pasca
Ramadhan diharapkan kaum beriman bisa merealisasikan makna takwa tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Artinya ada dampak nyata dari puasa yang dijalankan
selama sebulan penuh.
Jika kita pikirkan
ulang, sebenarnya ada hal yang unik dalam konsep puasa sebagai sarana mencapai
ketakwaan. Puasa itu sendiri tentu bagian dari aktifitas takwa karena berupa
menjalankan perintah menahan lapar, haus, dan hubungan seksual sekaligus
menjauhi hal-hal yang merusak puasa seperti perilaku negatif dalam berinteraksi
dengan orang lain berupa dusta, pertengkaran, dan lainnya. Jadi, secara
filosofis ayat tentang perintah puasa di atas adalah ayat tentang ekstensi amal
yang berkelanjutan, yakni amal baik harus melahirkan amal baik berikutnya,
dimana sarana berupa amal baik ditujukan untuk melahirkan amal baik berikutnya.
Itulah falsafah hidup
ini! Allah mengisyaratkan bahwa secara kontinyu isi kehidupan kita adalah takwa
yang melahirkan takwa berikutnya sampai masing-masing kita menghadap Allah.
Secara spesifik saatnya kita telusuri, amal apa yang lahir dari puasa sebulan
penuh ini? Pertama, kaitannya dengan hablun
minallah (ikatan dengan Allah), minimal yang dilahirkan adalah kemampuan
berpuasa sunah, disiplin membaca Al-Qur’an, disiplin dalam salat wajib, dan mampu
melaksanakan salat sunah lebih banyak lagi karena terlatih dengan salat tarawih.
Jika pasca Ramadan malah amal-amal itu hilang seketika, tidak berkelanjutan
maka sepertinya kedudukan kita tidak sampai pada posisi takwa yang diisyaratkan
ayat perintah puasa.
Kedua, kaitannya dengan
hablun minannaas (ikatan dengan
manusia), nuansa empati dan simpati terhadap mustadh’afin (kaum lemah, baik lemah secara finansial maupun status
sosialnya) harusnya mendorong gerakan solidaritas sosial-ekonomi yang nyata
pasca Ramadhan. Lebih jauh lagi, sikap yang lahir tidak hanya berupa
kedermawanan terhadap kaum marjinal, tetapi membersamai mereka juga dalam upaya
advokasi pemenuhan hak-hak mendasar mereka.
Dengan pemaknaan yang
lebih mendalam terhadap puasa sebagai sarana mencapai takwa, setidaknya kita
tidak ‘terlalu’ tertipu dengan selebrasi kemenangan semu yang dimeriahkan oleh
banyak orang dan media-media yang saling bersahutan mendendangkan “minal ‘a’idin
wal faizin” dan “mohon maaf lahir dan bathin”.
0 komentar: