Mengawal Peserta Pemilu Peserta Pemilu yang merupakan kandidat wakil rakyat (anggota legislatif; DPR, DPRD, dan DPD) dan pemimpin n...

Mahasiswa di Tahun Politik (Bagian 2)


Mengawal Peserta Pemilu

Peserta Pemilu yang merupakan kandidat wakil rakyat (anggota legislatif; DPR, DPRD, dan DPD) dan pemimpin negara (presiden dan wakil presiden) harus diuji isi pikiran dan hatinya. Secara pikiran apakah benar-benar memiliki ide-ide orisinal dan brilian untuk kesejahteraan bangsa atau hanya berisi ide-ide dangkal dan hanya berkutat di tema-tema dan jargon-jargon populis untuk mendulang suara rakyat. Terkait hatinya, apakah ada kesungguhan dan tekad murni untuk mengabdi atau hanya berisi ambisi materi dan aktualitas diri. Isi pikiran tentu bisa diuji melalui mimbar-mimbar yang berisi dialog intelektual terbuka. Adapun isi hati, sulit dibedah secara objektif, maka record pengabdian kandidat perlu dilihat agar pemilih memiliki gambaran sepak terjang hidupnya, apakah ia adalah golongan pragmatis yang tak dapat dipercaya, atau golongan pengabdi yang idealis dengan rekam jejak pengabdian yang nyata.

Adapaun partai politik sebagai elemen yang memiliki kewajiban menjadi public educator seharusnya diuji platformnya, apakah benar-benar memiliki konsep yang komprehensif dan tajam dalam isu-isu kebangsaan. Sekaligus para pimpinan Parpol apakah benar-benar menguasai platform partainya atau hanya pandai beretorika untuk bemain klaim keberpihakan partainya kepada masyarakat secara utuh, tanpa ada kepentingan pragmatis untuk mengamankan kepentingan segelintir pemilik kapital. Maka mahasiswa harus berani secara terbuka menyelenggarakan uji publik di kampusnya masing-masing sesuai isu kemasyarakatan yang dipandang sesuai dengan kompetensi utama kampusnya. Jika tidak di kampus, di mana lagi tempat yang paling tepat untuk digunakan sebagai panggung intelektual penguji Parpol dan para politisi yang ada di dalamnya?

Uji publik yang bersifat dialogis, bukan kampanye monologis, sepertinya sekarang menjadi kebutuhan mendesak. Banyaknya para Caleg dan boleh jadi termasuk Capres-Cawapres yang hanya mengutamakan popularitas untuk mengejar elektabilitas menjadikan iklim demokrasi di negeri ini seolah berjalan tanpa substansi dan narasi yang komprehensif dan tajam. Sangat berbeda dengan nuansa dialog politik di awal-awal masa founding fathers mendeklarasikan kemerdekaan negara ini; sangat kental dialog ideologis dan kritis, tetapi dengan nuansa hati yang saling legowo dengan realitas politik yang ada.

Mengawal Pemilih dalam Pemilu

Apakah pemilih sekarang sudah cerdas? Sebagian politisi selalu mengklaim bahwa masyarakat Indonesia sudah cerdas dalam politik sehingga tidak bisa dibohongi lagi. Sayangnya klaim itu hanya disampaikan dalam rangka membantah dan menyerang lawan politik biasanya. Untuk mengukur kecerdasan politik pemilih, jika kita ingin overestimate maka lihatlah civitas akademika kampus, karena kandang budaya intelektual ada di sana. Apakah masyarakat kampus memahami filosofi politik dan sadar setiap hari berhadapan dengan produk politik (termasuk rektor yang dipilih melalui proses dan lobi-lobi politik)? Apakah mereka berfikir rasional dan tidak emosional dalam membela atau menolak suatu partai atau seorang Caleg maupun Capres-Cawapres? Apakah mereka terbuka dalam debat gagasan atau ide-ide politik?

Silakan pembaca menjawab masing-masing pertanyaan di atas. Jika berkesimpulan bahwa mayoritas masyarakat kampus belum berpikir sejauh dan sedalam itu, maka kita masi memiliki PR kecerdasan politik di kampus sebagai kandang budaya intelektual. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana kondisi pemilih di luar kampus? Bagaimana kondisi pemilih di perkampungan, pedalaman hutan dan pesisir pantai yang seringkali identik dengan keterbelakangan pendidikan dan kelemahan finansial? Apakah mereka dapat membedakan money politic dan hibah dari kebaikan aktor-aktor politik? Itulah sebabnya, mahasiswa harus mengambil peran sebagai public educator, jangan berharap terlalu jauh kepada Parpol walaupun secara konstitusional tangung jawab edukasi politik sebenernya ada pada Parpol.

Sepengetahuan saya, banyak organisasi intra dan ekstra kampus yang bermitra dengan KPUD dalam sosialisasi Pemilu. Sosialisasi berupa kegiatan memberikan informasi peserta pemilu, cara memilih, aturan mengenai DPT, dll. Ini adalah budaya yang cukup baik. Selanjutnya perlu dikembangkan menjadi kegiatan yang lebih kritis lagi khusus civitas akademika kampus, seperti dialog terbuka urgensi partisipasi dalam Pemilu maupun sebaliknya alasan Golput (Golongan Putih/tidak memilih) yang lebih filosofis. Kenapa golput juga bisa dibincangkan tidak sekedar ditolak? Sekali lagi, masyarakat kampus harus terbuka dengan berbagai sikap politik. Tetapi sikap politik yang jelas pijakan ideologisnya, bukan sekedar sikap politik yang fatalis. Selama ini golput biasanya lahir karena sikap fatalis, merasa tidak ada harapan sama sekali terhadap semua peserta Pemilu dengan asumsi semua peserta Pemilu adalah politisi pragmatis yang hanya mencari kuasa dan harta. Padahal Golput akan lebih kuat sebagai sikap jika dilandasi ide-ide filsafat anarki (anarkisme) yang menolak adanya negara sebagai distributor keadilan dan pencipta kebebasan misalnya.

Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu oleh KPU di Surabaya (Foto:https://news.detik.com/)

Terkait partisipasi, ada hal yang perlu diperhatikan khusus bagi organisasi kemahasiswaan, yaitu advokasi DPT dari kalangan mahasiswa yang akan memilih di TPS sekitar kampus. Aturan terkait ini perlu didalami. Biasanya mereka akan dikategorikan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan didistribusikan ke banyak TPS di sekitar kampus. Seingat saya, KPU belum mengubah aturannya melarang pendirian TPS khusus untuk DPTb karena alasan tendensi dan potensi penggelembungan suara. Pengalaman saya, mengurus advokasi ini cukup menguras banyak SDM, waktu, dan anggaran karena berkaitan dengan banyak berkas administrasi, proses yang cukup lama, dan biaya mobilisasi yang cukup besar untuk memastikan mahasiswa menjangkau TPS mereka masing-masing. Sebenarnya, jika TPS baru khusus mahasiswa bisa diadvokasikan, ini akan menjadi pilihan yang paling baik.

Tidak lupa, untuk membangun budaya aktif dan partisipatif dalam proses politik, sebaiknya dibuka kanal volunteer bagi mahasiswa untuk ikut serta sebagai pelaksana sosialisasi dan diskusi-diskusi terbuka tentang Pemilu, relawan pengawas Pemilu, maupun Pers Mahasiswa yang berperan sebagai Watchdog. Saya kira, tambah banyak masyarakat intelektual yang berpartisipasi secara sadar dan rasional dalam proses politik akan menjadikan iklim demokrasi di negeri ini bertambah sehat.

1 komentar:

  1. Berpartisipasi politik tidak hanya dengan cara pengawalan pemilu.

    Berpartisipasi politik sebagai seorang mahasiswa, harus mampu olah rasa bagi dirinya sendiri. Jadi sikap seperti apa? Mahasiswa harusnya tak acuh dengan pilihan kelasnya sendiri. Lebih peduli ke sesama dan lebih dari sekadar DPT.

    Ada yang kronis di negri ini karena mencari originalitas itu sesat bro! Sangat sesat mematikan empati

    BalasHapus