Peserta
Pemilu yang merupakan kandidat wakil rakyat (anggota legislatif; DPR, DPRD, dan
DPD) dan pemimpin negara (presiden dan wakil presiden) harus diuji isi pikiran
dan hatinya. Secara pikiran apakah benar-benar memiliki ide-ide orisinal dan
brilian untuk kesejahteraan bangsa atau hanya berisi ide-ide dangkal dan hanya
berkutat di tema-tema dan jargon-jargon populis untuk mendulang suara rakyat.
Terkait hatinya, apakah ada kesungguhan dan tekad murni untuk mengabdi atau
hanya berisi ambisi materi dan aktualitas diri. Isi pikiran tentu bisa diuji
melalui mimbar-mimbar yang berisi dialog intelektual terbuka. Adapun isi hati,
sulit dibedah secara objektif, maka record
pengabdian kandidat perlu dilihat agar pemilih memiliki gambaran sepak terjang
hidupnya, apakah ia adalah golongan pragmatis yang tak dapat dipercaya, atau
golongan pengabdi yang idealis dengan rekam jejak pengabdian yang nyata.
Adapaun partai politik sebagai elemen
yang memiliki kewajiban menjadi public
educator seharusnya diuji platformnya, apakah benar-benar memiliki konsep
yang komprehensif dan tajam dalam isu-isu kebangsaan. Sekaligus para pimpinan
Parpol apakah benar-benar menguasai platform partainya atau hanya pandai
beretorika untuk bemain klaim keberpihakan partainya kepada masyarakat secara utuh,
tanpa ada kepentingan pragmatis untuk mengamankan kepentingan segelintir pemilik
kapital. Maka mahasiswa harus berani secara terbuka menyelenggarakan uji publik
di kampusnya masing-masing sesuai isu kemasyarakatan yang dipandang sesuai
dengan kompetensi utama kampusnya. Jika tidak di kampus, di mana lagi tempat
yang paling tepat untuk digunakan sebagai panggung intelektual penguji Parpol
dan para politisi yang ada di dalamnya?
Uji publik yang bersifat
dialogis, bukan kampanye monologis, sepertinya sekarang menjadi kebutuhan
mendesak. Banyaknya para Caleg dan boleh jadi termasuk Capres-Cawapres yang
hanya mengutamakan popularitas untuk mengejar elektabilitas menjadikan iklim
demokrasi di negeri ini seolah berjalan tanpa substansi dan narasi yang komprehensif
dan tajam. Sangat berbeda dengan nuansa dialog politik di awal-awal masa
founding fathers mendeklarasikan kemerdekaan negara ini; sangat kental dialog
ideologis dan kritis, tetapi dengan nuansa hati yang saling legowo dengan
realitas politik yang ada.
Mengawal Pemilih dalam Pemilu
Apakah pemilih sekarang sudah
cerdas? Sebagian politisi selalu mengklaim bahwa masyarakat Indonesia sudah
cerdas dalam politik sehingga tidak bisa dibohongi lagi. Sayangnya klaim itu
hanya disampaikan dalam rangka membantah dan menyerang lawan politik biasanya.
Untuk mengukur kecerdasan politik pemilih, jika kita ingin overestimate maka lihatlah civitas akademika kampus, karena kandang
budaya intelektual ada di sana. Apakah masyarakat kampus memahami filosofi
politik dan sadar setiap hari berhadapan dengan produk politik (termasuk rektor
yang dipilih melalui proses dan lobi-lobi politik)? Apakah mereka berfikir
rasional dan tidak emosional dalam membela atau menolak suatu partai atau
seorang Caleg maupun Capres-Cawapres? Apakah mereka terbuka dalam debat gagasan
atau ide-ide politik?
Silakan pembaca menjawab
masing-masing pertanyaan di atas. Jika berkesimpulan bahwa mayoritas masyarakat
kampus belum berpikir sejauh dan sedalam itu, maka kita masi memiliki PR kecerdasan
politik di kampus sebagai kandang budaya intelektual. Pertanyaan selanjutnya
adalah, bagaimana kondisi pemilih di luar kampus? Bagaimana kondisi pemilih di perkampungan,
pedalaman hutan dan pesisir pantai yang seringkali identik dengan
keterbelakangan pendidikan dan kelemahan finansial? Apakah mereka dapat
membedakan money politic dan hibah dari
kebaikan aktor-aktor politik? Itulah sebabnya, mahasiswa harus mengambil peran
sebagai public educator, jangan berharap
terlalu jauh kepada Parpol walaupun secara konstitusional tangung jawab edukasi
politik sebenernya ada pada Parpol.
Sepengetahuan saya, banyak
organisasi intra dan ekstra kampus yang bermitra dengan KPUD dalam sosialisasi Pemilu.
Sosialisasi berupa kegiatan memberikan informasi peserta pemilu, cara memilih,
aturan mengenai DPT, dll. Ini adalah budaya yang cukup baik. Selanjutnya perlu
dikembangkan menjadi kegiatan yang lebih kritis lagi khusus civitas akademika
kampus, seperti dialog terbuka urgensi partisipasi dalam Pemilu maupun sebaliknya
alasan Golput (Golongan Putih/tidak memilih) yang lebih filosofis. Kenapa
golput juga bisa dibincangkan tidak sekedar ditolak? Sekali lagi, masyarakat
kampus harus terbuka dengan berbagai sikap politik. Tetapi sikap politik yang
jelas pijakan ideologisnya, bukan sekedar sikap politik yang fatalis. Selama
ini golput biasanya lahir karena sikap fatalis, merasa tidak ada harapan sama
sekali terhadap semua peserta Pemilu dengan asumsi semua peserta Pemilu adalah
politisi pragmatis yang hanya mencari kuasa dan harta. Padahal Golput akan
lebih kuat sebagai sikap jika dilandasi ide-ide filsafat anarki (anarkisme) yang
menolak adanya negara sebagai distributor keadilan dan pencipta kebebasan misalnya.
Terkait
partisipasi, ada hal yang perlu diperhatikan khusus bagi organisasi
kemahasiswaan, yaitu advokasi DPT dari kalangan mahasiswa yang akan memilih di
TPS sekitar kampus. Aturan terkait ini perlu didalami. Biasanya mereka akan
dikategorikan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan didistribusikan ke banyak TPS
di sekitar kampus. Seingat saya, KPU belum mengubah aturannya melarang
pendirian TPS khusus untuk DPTb karena alasan tendensi dan potensi
penggelembungan suara. Pengalaman saya, mengurus advokasi ini cukup menguras
banyak SDM, waktu, dan anggaran karena berkaitan dengan banyak berkas
administrasi, proses yang cukup lama, dan biaya mobilisasi yang cukup besar
untuk memastikan mahasiswa menjangkau TPS mereka masing-masing. Sebenarnya,
jika TPS baru khusus mahasiswa bisa diadvokasikan, ini akan menjadi pilihan
yang paling baik.
Tidak lupa, untuk membangun budaya aktif dan partisipatif
dalam proses politik, sebaiknya dibuka kanal volunteer bagi mahasiswa untuk
ikut serta sebagai pelaksana sosialisasi dan diskusi-diskusi terbuka tentang
Pemilu, relawan pengawas Pemilu, maupun Pers Mahasiswa yang berperan sebagai Watchdog. Saya kira, tambah banyak masyarakat
intelektual yang berpartisipasi secara sadar dan rasional dalam proses politik
akan menjadikan iklim demokrasi di negeri ini bertambah sehat.
Berpartisipasi politik tidak hanya dengan cara pengawalan pemilu.
BalasHapusBerpartisipasi politik sebagai seorang mahasiswa, harus mampu olah rasa bagi dirinya sendiri. Jadi sikap seperti apa? Mahasiswa harusnya tak acuh dengan pilihan kelasnya sendiri. Lebih peduli ke sesama dan lebih dari sekadar DPT.
Ada yang kronis di negri ini karena mencari originalitas itu sesat bro! Sangat sesat mematikan empati