Demonstrasi Mahasiswa Tiba saatnya menghadapi hajatan politik lima tahunan, Pileg dan Pilpres serentak 2019. Hampir semua elemen masya...

Mahasiswa di Tahun Politik (Bagian 1)

Demonstrasi Mahasiswa
Tiba saatnya menghadapi hajatan politik lima tahunan, Pileg dan Pilpres serentak 2019. Hampir semua elemen masyarakat gaduh membincangkannya, tak terkecuali mahasiswa sekarang yang notabennya generasi milenial yang lebih banyak membuka perbincangan terbuka di media sosial.

Sebagai eksponen, dan bisa dibilang veteran dari gerakan mahasiswa, saya ingin mencoba memberi gambaran peran yang bisa dilakukan dalam mengawal Pileg dan Pilpres agar bisa berjalan secara sehat, transparan, dan mendewasakan masyarakat demokrasi di negeri ini. Sebenarnya ini terlihat mustahil karena sebagian para politisi malah bermanuver agar proses demokrasi bersifat transaksional, diisi deal-deal tertutup, dan membiarkan masyarakat tetap awam terhadap substansi politik yang lebih rasional. Tentunya karena memiliki kepentingan pragmatis materialis dalam proses demokrasi yang cacat dan bersifat emosional. Akan tetapi, menyerah terhadap hal yang tampak mustahil bukan pilihan kita. Setidaknya kita tetap idealis dan memilih menjalani kehidupan dan mati dengan membawa idealisme itu ke alam kubur.

Setidaknya, peran utama yang bisa diambil oleh mahasiswa di tahun politik adalah mengawal tiga komponen Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, dan pemilih dalam Pemilu. Lingkup penyelenggara Pemilu adalah KPU dan Bawaslu, bisa juga diperluas lagi. Lingkup peserta Pemilu adalah Parpol dan Caleg-Calegnya, berikut Capres dan Cawapres. Adapun pemilih adalah masyarakat Indonesia yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Mahasiswa mengawal Pemilu bukan berarti mahasiswa menjadi pusat atau subjek utama yang terbebas dari potensi penyimpangan (terutama melakukan manuver politik praktis yang pragmatis), sikap pasif-tak acuh-fatalis, dan pusat kebeneran tanpa kekeliruan. Mahasiswa mengawal Pemilu memiliki makna bahwa mahasiswa berusaha memenuhi takdirnya sebagai intelektual organik yang tetap berupaya berpikir kritis, terbuka, dan berperan aktif dalam proses sosial politik alih-alih menjadi objek komunal politik yang hanya jadi bahan bancakan suara para politisi. Walaupun idealisme ini tidak dimiliki oleh semua mahasiswa, setidaknya saya mendorong agar mahasiswa-mahasiswa yang aktif dalam pergerakan tetap melakukan penyadaran akan peran ini agar secara angka statistik mahasiswa yang tak idealis tidak menjadi dominan. Jika bukan mahasiswa, siapa lagi yang bisa diharapkan untuk mengambil peran intelektual organik yang masi memiliki power komunal yang besar dan lebih bertenaga untuk mencipta arah sejarah?

Foto Bersama Pasca Musyawarah Nasional Aliansi BEM Seluruh Indonesia 2014
(Foto: http://www.seputarmalang.com)

Mengawal Penyelenggara Pemilu

Sudah menjadi hal lumrah, para pengurus KPU dan Bawaslu, terutama KPUD dan Panwaslu adalah orang-orang politik praktis yang terafiliasi dengan Parpol-Parpol  tertentu. Sehingga, isu-isu penggelembungan suara melalui jual beli surat suara, form-form DPT pindahan dan lain-lain tidak akan pernah hilang.

Jadi, fokus mahasiswa adalah menjaga proses penyelenggaraan Pemilu yang dieksekusi oleh lembaga-lembaga tersebut (terutama KPU dan KPUD) setransparan mungkin untuk meminimalkan transaksi ilegal surat suara dan form-form pemilih. Potensi penggunaan form-form pemilih yang tidak terpakai secara ilegal setidaknya terkurangi setelah KPU Pusat mengeluarkan edaran pengaturan DPT pindahan. Edaran itu dikeluarkan pasca KPU Pusat Tahun 2014 didemo oleh Aliansi BEM Seluruh Indonesia karena belum mengeluarkan aturan dan perijinan untuk DPT yang ingin memilih di luar domisili asal KTPnya karena alasan pekerjaan dan pendidikan (sekolah dan kuliah di luar kota atau kabupaten asal).

Demonstrasi Aliansi BEM Seluruh Indonesia di KPU Pusat menuntut pengaturan dan perijinan DPT Tambahan di luar asal domisili (Foto: http://rimanews.com)

Terkait KPUD, organisasi mahasiswa perlu bekerjasama dengan lembaga tersebut untuk melakukan advokasi kolektif dalam memfasilitasi pemilih dari kalangan mahasiswa yang tidak dapat memilih di daerah domisili asal. Secara teknis, peraturan terbaru terkait ini perlu didalami karena berkaitan dengan distribusi DPT tambahan di pos-pos Tempat Pemungutan Suara (TPS), peluang pendirian TPS baru jika kuota DPT tambahan habis, dan lain sebagainya.

Terkait Panwaslu (Bawaslu Daerah), organisasi mahasiswa bisa bekerjasama dengan lembaga tersebut untuk membuka kanal volunteer pengawas Pemilu, terutama dari kalangan mahasiswa yang ingin berpartisipasi menjaga proses pesta demokrasi agar berjalan secara jujur dan adil. Bisa berpartisipasi sebagai pengawas kampanye peserta Pemilu maupun saksi ketika berjalannya proses Pemilu di TPS. Bisa juga secara progresif membuat kanal sendiri yang didukung oleh Bawaslu-Panwaslu untuk memantau lebih jauh hasil Pemilu melalui kanal online yang fokus memantau perkembangan DPT dan hasil Pemilu di seluruh Indonesia.

Bersambung..

0 komentar: