Ketika malam takbiran Idul Fitri kemarin, saya menyempatkan ngobrol dengan guru ngaji saya waktu kecil. Beliau adalah orang yang me...

Pulang Kampung dan Praktisi Fiqh


Ketika malam takbiran Idul Fitri kemarin, saya menyempatkan ngobrol dengan guru ngaji saya waktu kecil. Beliau adalah orang yang mengajar saya dan kawan-kawan sebaya saya ketika duduk di sekolah dasar dan menengah pertama. Beliau mengajar teori dan praktik bacaan Al-Qur’an dan beberapa ilmu agama mendasar seperti fiqh, aqidah, akhlak, sampai melatih berbagai kesenian Islam-Sunda seperti rudat (tarian semi beladiri yang diiringi tabuhan rebana besar dan bedug), nad(z)om-an (sya’ir sejarah Nabi Muhammad yang dilagukan dan ditampilkan ketika acara maulid), deba-an (sya’ir dalam kitab diba’i), dan membuat dekorasi berbagai perayaan hari raya Islam.


Di tengah rehat takbiran, beliau menyampaikan keresahannya tentang krisis orang-orang yang mau dan mampu menjalankan dan memimpin ritual-ritual keagamaan di kampung, mulai dari yang memandikan jenazah jika ada yang meninggal, memimpin sholat berjamaah, adzan di musholla, memimpin tradisi/ritual aqiqah, dan memimpin tadarrus-an setelah tarawih. Saya hanya bisa mendengarkan dengan seksama bercampur kesedihan yang mendalam. Seolah-olah ada suara dari hati saya, seharusnya saya yang memikul dan meringankan beban guru saya yang sudah beruban banyak itu. Para Kyai di kampung sudah banyak yang wafat, sementara penerusnya tidak sebanyak yang wafat.

Bagi masyarakat perkampungan, zaman semakin keras. Kehidupan pengabdian tanpa bayaran dan apresiasi publik menjadi tidak menarik. Bayangkan saja, guru ngaji saya yang mengajar anak-anak dan remaja hampir puluhan tahun tak pernah digaji sepeserpun, murni pengabdian. Sehari-harinya mencari nafkah dari bertani. Saya yang waktu masi kuliah mengajar privat dua jam saja sudah dapat seratus ribu rupiah.

Sementara itu, masyarakat perkotaan yang cenderung kering akan nuansa agama menjadi bergairah setelah gerakan-gerakan dakwah dari berbagai aliran menyentuh kampus-kampus tempat bersemainya multi ideologi sejak zaman penjajahan. Khususnya, anak-anak muda di kota berubah lebih dinamis dan menjadi promotor kesalihan-kesalihan sosial, walau kadang ada yang terlalu jauh melangkah menjadi reaktif dan kurang mampu memahami sekaligus menerima keragaman pemikiran dan tradisi Islam.

Kembali Ke Kampung-Kampung Sebagai Solusi, Bukan Ancaman

Ketika mudik hari raya, sebagian muslim modernis yang berkembang di perkotaan, terutama yang berkembang oleh stimulus halaqoh-halaqoh/mentoring keagamaan kadang tidak luwes berinteraksi dengan masyarakat kampung halaman dan tidak aktif mengisi pos-pos publik keagamaan. Ada gap budaya dan pemikiran. Di sinilah tantangan mereka, idealnya mereka bisa melampaui gap itu dan menjadi magnet kesalihan sosial di mana pun mereka berada. Jika tidak, mereka akan dianggap ancaman konservatisme agama di kampung-kampung karena membawa style agama dan pilihan fiqh yang berbeda.

Setidaknya, dalam pikiran saya ada dua hal yang perlu dilakukan oleh kaum Islam modernis ini di kampung halamannya masing-masing. Pertama, menjaga silaturahim dengan tetangga, kerabat, dan tokoh-tokoh masyarakat jika memungkinkan. Tradisi berkunjung, ramah tamah, dan dialog/mengobrol menjadi penting untuk dimasukkan ke dalam agenda wajib. Bahkan menjadi misi ketika mudik ke kampung halaman.

Kedua, partisipasi aktif dalam tradisi keagamaan. Paling tidak, yang laki-laki selalu menjadi yang terdepan berjamaah di masjid, bahkan minimal menjadi muadzin jika pos-pos di masjid atau di musholla hanya orang-orang yang sudah sepuh yang mengisi. Tampakkan bahwa kepulangan kita ke kampung halaman adalah kepulangan kontributor kesalihan sosial, bukan kaum urban yang hanya membawa polusi perkotaan, pulang ke kampung halaman hanya membawa ampas materialisme dan hedonisme perkotaan.

Jadi kajian-kajian ataupun pembinaan-pembinaan keagamaan di perkotaan idealnya banyak melahirkan praktisi fiqh, bukan teoritis fiqh, mendalam teori hukum-hukum agama tetapi tidak mampu mempraktikan dan mencontohkannya di tengah-tengah masyarakat kampung halamannya. Bahkan sebagiannya ada yang meloncat ke tema-tema open mind dalam hidup, tapi tidak mampu open mind terhadap khazanah kehidupan agama di perkampungan.

Di sini bukan berati saya menyarankan untuk menjadi muslim tradisionalis, karena nyatanya banyak yang berlayar dalam arus Islam tradisional gagal mencetak SDM yang mampu memompa denyut nadi kesalihan sosial di perkotaan karena terlalu curiga dengan gerakan-gerakan dakwah Islam transnasional dan berkutat pada klaim-klaim ahlus sunnah wal jamaah yang terlalu sempit. Bahkan sebagiannya malah sibuk berfilsafat dan melakukan kontestasi ide-ide dan intuisi tasawuf sampai lupa mengentaskan problem umat yang mayoritas bersifat materil dan banyak mengalami penindasan di berbagai belahan dunia. Saya sempat berpikir, lebih baik pengajian dengan Al-Qu’an terjemahan yang menggairahkan umat daripada pengajian filosofis, berbahasa Arab dan bersanad yang tidak menciptakan perubahan sosial yang signifikan.

Saatnya Menghayati Kesenyapan Para Pahlawan di Perkampungan

Setelah obrolan panjang dengan guru ngaji saya, teringat teman saya lulusan Universitas Al-Azhar Kairo yang menjadi guru dan penceramah di pedalaman Kalimantan. Sempat bertemu dua tahun lalu di pondok pesantren tempat saya dan dia menimba ilmu waktu masih duduk di sekolah menengah atas. Katanya, hampir setiap hari dia menempuh belasan kilometer dengan sepeda motor untuk berceramah dan mengajar ngaji dari kampung ke kampung. Banyak yang belum bisa baca Qur’an, banyak yang sangat awam terhadap ajaran agama.

Sebenarnya memang banyak sekali, terutama jaringan halaqoh-halaqoh dan gerakan pendidikan-sosial-keagamaan yang dikirim ke berbagai pedalaman. Aktifitas mereka jarang sekali diikuti corong-corong kamera untuk didokumentasikan, di-publish, dan di-branding sedemikian rupa seperti gerakan-gerakan sosial-pendidikan yang muncul belakangan. Puluhan tahun gerakan masyarakat itu telah menjangkau sudut-sudut nusantara ini. Mereka bergerak dalam senyap.

Akhirul kalam, semoga Allah merahmati para guru ngaji di kampung-kampung. Ibarat mata air, mereka selalu mengalirkan manfaat tanpa balas jasa harta maupun cindera mata tanda penghargaan dari manusia.

0 komentar: