Taman Kalijodo Dulu, ketika musim kampanye Pilpres 2014, publik sempat dibuat geleng kepala oleh Ketua Umum DPN Srikandi Gerindra, Nur...

Sunan Kalijodo dan Permainan Legitimasi Publik

Taman Kalijodo

Dulu, ketika musim kampanye Pilpres 2014, publik sempat dibuat geleng kepala oleh Ketua Umum DPN Srikandi Gerindra, Nurcahaya Tandang yang keseleo lidah menyebut Prabowo sebagai titisan Allah. Akhirnya beliau minta maaf atas ketidaksengajaan itu. Musim kampanye memang musim menggilanya para die harder calon-calon pejabat publik. Pilgub DKI Jakarta pun tak terhindar dari kegilaan ini, bahkan ada yang melangkah terlalu jauh dengan membawa label-label dari tradisi keagamaan untuk munjustifikasi kelayakan calon gubernur untuk dipilih.

Sempat heboh, Ketua GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas menjuluki Basuki Tjahaya Purnama sebagai Sunan Kalijodo. "Karena hidupnya di Jakarta, beliau ini Sunan Kalijodo. Sunan Kalijodo itu telah mengubah masyarakat yang hitam kelam menjadi masyarakat beriman," kata Gus Yaqut yang merupakan putra dari KH. Muhammad Cholil Bisri, salah satu pendiri PKB. Djarot Saiful Hidayat sebagai pasangan Basuki menguatkan gelar Sunan Kalijodo dengan mengatakan bahwa julukan itu mengarah kepada peristiwa ketika kawasan kumuh di Kalijodo yang ditengarai menjadi sarang prostitusi dan narkoba akhirnya dibersihkan. Mungkin Djarot perlu juga memberikan gelar Sunan Kramat Tunggak kepada Sutiyoso yang telah merubah kawasan prostitusi di sana menjadi Jakarta Islamic Centre.

Jika ditinjau dari asal usul makna dan penggunaan gelar ‘Sunan’ tentu Basuki terlalu jauh dari kelayakan mendapat gelar itu. ‘Sunan’ (susuhunan) yang merupakan gelar bagi panutan dalam tradisi Islam klasik di Jawa-Sunda khususnya hanya diberikan kepada tokoh-tokoh (muslim) pendakwah dan perubahan yang melekat padanya nuansa ‘karomah’, misalnya untuk para Wali Songo.

Tapi memang dalam permainan politik semua makna kata bisa dijungkirbalikkan dan bisa ditafsir ulang sesuai kebutuhan. Inilah yang disebut permainan legitimasi publik. Tokoh-tokoh publik, terutama tokoh keagamaan sangat berperan dalam hal ini. Maka tak heran jika sifat-sifat Rasul pun yang tadinya memiliki makna khusus bisa ditafsir menjadi sifat universal kemudian disematkan kepada tokoh yang tidak seagama dengan Rasul.

Yang menarik dari fenomena ini sebenarnya bukan pada politisasi istilah keagamaan, tapi budaya masyarakat yang didominasi ketundukan pada tokoh publik dan kurang independen dalam bersikap. Ketika sebutan Sunan Kalijodo diberikan kepada Basuki ada yang memuji keberanian GP Ansor, alih-alih mengkritiknya. Mungkin banyak juga kalangan dari keluarga NU yang tidak setuju, tapi tidak mau ‘berbunyi’ karena tidak biasa mengkritik kalangan Kyai atau seorang senior dalam budaya skolastik tradisional.

Menuju Kritik Tokoh Agama

Di tempat asal saya, Kuningan-Jawa Barat, sudah lumrah jika musim pemilihan bupati banyak agenda ‘mengumrohkan’ para penceramah di musholla atau masjid. Hal ini biasa dimaknai oleh para penceramah sebagai sikap dermawan para calon bupati alih-alih money politic. Jadi, setelah pulang umroh otomatis isi ceramah akan dibumbui oleh promosi calon bupati yang mensponsorinya. Jika ceramah tentang karakter pemimpin yang layak dipilih mungkin wajar karena ajaran agama mengaturnya, tapi ini sudah jelas-jelas promosi nama tertentu yang perlu dipilih menurut persepsi penceramah. Tentu budaya ini cukup menghambat proyek pembebasan manusia dari budaya politik transaksional. Jadi bohong besar kalau masi ada politisi yang mengatakan masyarakat sudah cukup cerdas dalam berpolitik. Nyatanya budaya kapitalis dalam politik masi dominan.

Saya tidak anti terhadap konsep agama yang mengatur masalah politik, tapi menurut saya perlu ada budaya kritis dalam permainan legitimasi publik oleh tokoh-tokoh agama. Nampaknya ada benarnya ketika dulu Bung Hatta mengkhawatirkan agama bisa menjadi alat legitimasi kepentingan politik. Mau tidak mau, untuk mengantisipasi permainan legitimasi publik, kita harus terbiasa dengan budaya kritik tokoh agama sebagai upaya check and balance dalam kelembagaan keagamaan. Tentunya ini bagian dari pengamalan ayat ‘tawaashouw bil haq’.

Catatan penting bagi kita sendiri sebelum masuk ke dalam tradisi kritik adalah menelusuri apa motif kita. Jangan-jangan motifnya karena kita memiliki pilihan politik tertentu, baru kita melakukan kritik. Jika demikian, kita akan mengalami kesalahan fatal karena kritik yang kita buat hanya akan menjadi wajah lain dari justifikasi pilihan politik kita, bukan pendapat yang didasarkan keadilan dalam diri kita. Ini juga yang menjadikan sikap kita tidak konsisten di masa yang akan datang.

Menuju Independensi Sikap Politik

Dalam budaya keagamaan, khususnya agama Islam, bersikap secara independen dalam dunia politik yang ‘religius’ sepertinya agak sulit. Di samping pelajaran keagamaan di institusi pendidikan kita minim, tradisi keilmuan yang sangat sekuler juga menjadikan masyarakat terpaksa ‘pasrah’ kepada pandangan-pandangan keagamaan tokoh agama. Sulit untuk berpikir independen dalam masalah keagamaan, teori-teori keagamaan yang dikuasai tidak memadai untuk itu. Sayangnya kalangan santri pun masi didominasi oleh cara berpikir dengan pendekatan ‘taqlid’ dalam masalah-masalah keagamaan.

Sebenarnya mulai ada fenomena independensi sikap dalam dunia politik yang ‘religius’. Tapi fenomena ini ada lucunya. Beberapa kalangan mencoba keluar dari mainstream pandangan tokoh agama untuk mendeklarasikan sikap independennya, tapi terjebak ke dalam doktrin-doktrin tokoh agama yang lebih ‘liberal’. Sehingga pandangannya hanya eksrepsi justifikasi, bukan pandangan yang dihasilkan akalnya setelah olah ilmu dalam pikirannya. Saya pernah mendapatkan teman (muslim) yang membela pandangannya untuk memilih pemimpin non muslim dengan menyertakan kaidah fiqh ‘tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bil-maslahah’ (tindakan/kebijakan pemerintah harus berdasar pada kemaslahatan rakyat). Kaidah fiqh itu dilontarkan tanpa dikomparasi dengan dalil-dalil mengenai kepemimpinan sehingga konteksnya dipaksakan untuk menjustifikasi asumsi calon pemimpin non muslim  yang dipilihnya lebih membawa maslahat dari yang lainnya.

Masi banyak pekerjaan rumah dalam masalah relasi agama dan politik. Mungkin dari segi teori sudah banyak yang memahami sesuai perspektifnya masing-masing, tapi ketika dipraktikan perlu daya kritis yang lebih kuat karena motif-motif tokoh agama dalam berpolitik tidak bisa dijangkau oleh kita. Bagi kalangan Machiavellian, Hobbesian, dan Foucauldian mungkin semua tokoh agama pasti motifnya politik jika bicara dalil kepemimpinan, tapi bagi kaum religius akan selalu ada manusia yang murni bicara karena keimanan kepada ajaran agama. Di sinilah kita tidak boleh malas memilah secara intelektual dan moral mana tokoh agama yang melakukan politisasi ajaran agama dan mana yang murni bersikap berdasarkan pemikiran keagamaan yang adil. Akhirnya kita dituntut seindependen mungkin menentukan sikap kita sendiri karena kita akan dituntut di alam akhirat secara perseorangan atas semua pilihan sikap kita di dunia.

0 komentar: