![]() |
Aksi Damai 212 |
Subuh pagi, suasana di sebuah ibu kota negara tak seperti biasanya, jamaah memadati masjid-masjid. Nampak banyak wajah baru. Bukan karena ada taubat masal, tapi memang wajah-wajah itu datang dari berbagai penjuru negeri; dari mulai perkotaan sampai kampung-kampung tak dikenal di luar ibu kota. Wajah-wajah teduh itu mewakili manusia-manusia yang terpanggil oleh gema suara hati nurani.
Menjelang waktu dhuha, berduyun-duyun manusia dengan wajah yang berseri-seri memadati angkutan-angkutan umum di dalam ibu kota. Wajah mereka pun baru. Seolah-olah terjadi urbanisasi besar-besaran ke arah ibu kota. Tapi bukan untuk mencari sesuap nasi atau sebongkah berlian. Tak tahu juga, apakah memang motif mereka masuk dalam teori Maslow atau tidak.
Menjelang siang, ramai wajah-wajah tadi bertemu di masjid-masjid ibu kota. Saling sapa dan seolah-olah mereka pernah bertemu sebelumnya. Seperti saudara jauh yang lama tak jumpa. Malah lebih dari itu. Tepatnya seperti saudara sekaligus kawan senasib sepenanggungan. Bukan senasib dalam masalah yang sehari-hari dibicarakan orang: harta dan kedudukan. Tapi senasib dan sepenanggungan dalam hal apa yang mereka agungkan dan ikuti selama ini, Firman Tuhan mereka dilecehkan.
Takbir berkumandang. Khutbah digemakan. Sholat didirikan. Masjid-masjid di pusat ibu kota, pusat kekuasaan sesak. Jum’at keramat!
Sementara itu, di istana tempat sang raja berkuasa sudah sesak pula dengan wajah-wajah baru. Nampaknya tambahan pasukan pengaman kekuasaan didatangkan dari luar ibu kota. Mencekam. Bukan karena ada perang. Bukan karena ada ancaman teroris. Tapi ada eskpresi ketakutan yang tak beralasan atas nama stabilitas negara.
***
Salam kedua diucapkan berjuta jamaah. Sejenak riuh rendah muncul. Berhamburan ke jalan-jalan manusia dengan wajah-wajah yang cerah. Berbaris. Bersiap. Berjalan menuju istana sang raja.
Allahu Akbar, Allahu Akbar. Suara bergema dari masjid-masjid ibu kota.
Awalnya setetes embun. Embun yang segar. Kemudian menjadi sepercik air. Menyatu. Mengalir. Menjadi deras. Akhirnya membadai layaknya gelombang di samudera luas.
Satu. Sepuluh. Seratus. Seribu. Sejuta. Lebih! Riuhnya melebihi The Great March on Washington! Manusia-manusia itu berbaris. Menyongsong kehormatan membela Firman Tuhan, kata agamawan. Menyongsong idealisme yang tak bisa ditakar oleh akal, kata kaum moralis. Menyongsong medan juang yang mengharu biru, kata para patriotis.
“Satu kata, tegakkan keadilan! Hukum penista agama!” pekik seseorang di barisan paling depan. “Telah datang dari ujung timur dan barat negeri ini. Di antara kita ada yang datang dari kota nan jauh di sana. Menyeberangi lautan. Menempuh daratan panjang. Meninggalkan anak istri, saudara, kerabat, bahkan pekerjaan yang menjadi sumber penghasilannya. Apakah mereka merugi? Sekali lagi, apakah mereka merugi? Tidak sama sekali. Mereka menjawab panggilan kehormatan dari Tuhan semesta alam. Ini bukan masalah perbedaan ras dan agama, ini adalah masalah kehormatan membela kalam ilahi dan menegakkan keadilan yang dicita-citakan oleh semua bangsa di dunia!” lanjutnya panjang.
Orang yang lain maju. “Walaupun muncul seribu candekiawan membela penista, seribu ahli bahasa menafsirkan ucapan penista bahwa dia tidak berniat melakukan penistaan, seribu raja melindungi penista, seribu hartawan membentengi penista, seribu pengabar berita memperindah sosok penista, seribu pasukan menghalangi kita, gelombang pencari keadilan tidak akan pernah berhenti bergemuruh sampai penegak keadilan benar-benar menegakkan keadilan! Jika tidak, kamilah yang akan menegakkan keadilan! Walaupun langit runtuh esok hari, keadilan harus ditegakkan! Tidak ada tempat bagi ketidakadilan!”
Kali ini sosok dengan wajah teduh maju. “Wahai penista, datanglah kepada hukum sebelum hukum datang kepadamu. Waktumu sudah habis. Walau muncul seribu agamawan yang bersikeras membelamu, dan mereka mencela kami, niscaya kami tidak akan berhenti. Kami adalah embun yang telah menjadi gelombang. Dariku untukmu dan para pembelamu: Jangan pernah kau hentikan gelombang!”
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Ya. Gelombang. Seperti air bah yang menenggelamkan kaum Nuh. Seperti air laut yang menelan Fir’aun. Tak bisa dihentikan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Takbir kali ini bukan takbir hari raya yang penuh kegembiraan. Bukan takbir malaikat rahmat. Takbir kali ini adalah takbir malaikat zabaniyah. Takbir yang membuat para pengkhianat dan pengecut bersembunyi di sudut-sudut ruang gelap. Takbir yang membuat kaum moralis pengagum Mahatma Gandhi terkaget-kaget. Takbir yang membuat para cendikiawan yang biasa berdebat di mimbar-mimbar ilmiah terbelalak.
Takbir ini, sekali lagi, memberikan pesan kepada para intelektual, para penganjur kedamaian semu, para pengabar berita manusia, para raja-raja dunia dan para pengawalnya: Jangan pernah kau hentikan gelombang! Kau takkan sanggup. Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat. Ini tentang kebenaran abadi yang akan menembus zaman dan sanubari seluruh manusia.
***
Di sudut ruangan, masih di kota yang sama, seseorang meringkuk gemetar. Gemelutuk giginya terdengar. Entah dia percaya Tuhan atau tidak, tapi dia merasa Tuhan sedang menghukumnya. Terbayang semua kata-katanya. Dia sadar, kata-katanya hendak dijadikan saingan Firman Tuhan dalam menilai kebenaran. Dia menyesal. Dia memutuskan undur diri dari ruang publik. Mengutuki dirinya sendiri. Sendiri, tanpa puja-puji lagi.
0 komentar: