Negara kita, Indonesia diberi kehormatan oleh Tuhan sebagai negara kepulauan yang terkenal subur tanahnya dan memiliki iklim yang baik untuk bercocok tanam. Sampai lahan kering yang dianggap kurang subur pun masih bisa ditanami padi gogo sebagai penghasil beras yang jumlahnya bisa membantu memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Dengan keadaan tanah seperti itu, tentunya logika kita akan mengatakan bahwa sudah seharusnya negara ini mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan bangsanya. Faktanya negara ini belum bisa memenuh semua kebutuhan pangan bangsanya, masih banyak pangan yang dapat dihasilkan di Indonesia, akan tetapi masih diimpor karena tidak cukup jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, beras misalnya.
Tentang lahan pertanian
Khusus masalah pangan yang dihasilkan dari lahan pertanian, kita dihadapkan dengan fenomena yang cukup hebat, yaitu penyusutan lahan sawah. Laju pencetakan lahan sawah tahun 2006 sampai dengan 2013 pertahunnya mencapai 47.000 hektar. Sementara laju konversi lahan sawah pertahunnya mencapai 100.000 hektar (Kompas, 15/9). Ini artinya defisit lahan pertanian.
Konversi lahan ini masif karena kebutuhan pembangunan. Tidak dipungkiri manusia butuh tempat tinggal yang bertambah dari waktu ke waktu karena beranak pinak. Artinya rumah-rumah perlu dibangun terus menerus, dan biasanya terpaksa menggunakan lahan yang sebelumnya terkadang berupa sawah dan hutan. Untuk kemudahan mobilitas, jalanpun dibangun dengan menggusur lahan pertanian. Demikian juga pembangunan pabrik, supermarket, dan perkantoran berkontribusi dalam penyusutan lahan pertanian.
Fenomena ini bisa ditafsirkan sebagai suatu fenomena alamiah yang dipercepat oleh serangan kekuatan kapital yang tidak peduli terhadap pertanian dan para pemilik lahan –yang didalamnya ada petani juga- yang putus asa dalam mengolah lahan dan pragmatis dalam mencari keuntungan karena tergiur oleh penjualan lahan yang cepat mendatangkan uang. Para pemodal yang ambisius dan para pemilik lahan yang pragmatis menyebabkan konversi lahan yang masif dan tak terkendali.
Belum kita berbicara penggusuran lahan dalam masalah sengketa lahan. Seperti kejadian sengketa lahan di Karawang, bisa dijadikan gambaran betapa sulitnya melawan kekuatan kapital dan betapa mudahnya menundukkan rakyat yang kurang mengerti tentang sistem hukum agraria. Ini adalah cerita lain yang menambah rumitnya latar belakang konversi lahan pertanian.
Kita bisa katakan ini adalah suatu keniscayaan; hal yang pasti terjadi. Tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah ketidaksiapan pemerintah dalam mengatur regulasi setiap konversi lahan pertanian agar tepat, sesuai kebutuhan dan lahan penggantinya pun dijamin tersedia. Minimal defisit lahan pertanian bisa dihindari.
Ada beberapa gagasan untuk mengatasi penyempitan lahan pertanian, yaitu kebijakan lahan abadi, penggunaan lahan-lahan marjinal, dan membuka lahan baru. Di tengah polemik lahan abadi, Menteri Pertanian RI 2009-2014, Suswono sempat menegaskan bahwa negara harus mampu memberikan akses lahan kepada petani setidaknya 2 hektar perorang. Akan tetapi, lahan itu bukan untuk dimiliki petani. Mereka hanya mendapat akses untuk memanfaatkan lahan itu. Ada asumsi, jika lahan itu diberikan kepada petani berikut sertifikatnya, kemudian petani tersebut meninggal, luas lahan itu berkurang setelah diwariskan (Kompas, 16/9).
Terkait lahan marjinal, pemerintah bisa memakai lahan yang berada di tepi pantai atau di rawa untuk digarap petani. Saat ini setidaknya ada 27 juta hektar lahan marjinal di tiga pulau, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (Kompas, 16/9).
Adapun pembukaan lahan baru masi menjadi pilihan yang kadang dilematis karena selain menggunakan lahan negara yang menganggur, biasanya harus mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian. Pilihan ini sering manuai kecaman karena beririsan dengan kepentingan banyak kalangan, mulai dari masyarakat sekitar hutan sampai pemerhati dunia kehutanan.
Tentang Petani
“Manusia-manusia tani” atau “petani”, menurut pasal 1 UU No. 2/1960 tentang “Bagi Hasil Tanah Pertanian”, adalah mereka yang mata pencaharian pokoknya mengusahakan tanah untuk pertanian. Mereka dapat mengusahakan tanah kepunyaan sendiri (pemilik-penggarap), mengusahakan tanah orang lain (penggarap) dan dapat pula mengusahakan tanah orang lain sebagai buruh tani.
Kita terkadang menyamaratakan keadaan petani. Kita anggap semua petani mutlak hidup dalam keterbatasan. Kalau kita masuk ke desa-desa, di sana kita akan lihat ada kalangan petani yang hidup berkecukupan, itulah yang disebut pemilik-penggarap. lahannya milik sendiri dan digarap oleh dirinya sendiri. Walaupun tidak semua pemilik-penggarap ini berkecukupan, tergantung luas lahan pertanian yang dimilikinya.
Penggarap dan buruh tani lah yang biasanya hidup serba terbatas. Terkadang mereka sambil melakukan pekerjaan lain seperti beternak, berdagang, dan menjadi buruh bangunan. Walaupun begitu, sama seperti pemilik-penggarap, penggarap dan buruh tani pun termasuk pelaku-pelaku aktif dalam kegiatan sektor pertanian dan pada hakikatnya merekalah sasaran pembangunan dalam bidang pertanian.
Sebagai pelaku aktif dalam kegiatan sektor pertanian, mereka layak disebut sebagai penyedia kebutuhan pangan. Ironinya, justru mereka banyak hidup dalam kemiskinan atau bahkan di bawah garis kemiskinan. Sampai ada ungkapan, jika mereka membuat padi, anehnya mereka juga yang menerima raskin (beras untuk rakyat miskin).
Dalam bayang-bayang kapitalisme dan pasar bebas, penggarap dan buruh tani menjadi kuli dalam produksi pangan. Yang menjadi penguasa pangan dari hulu hingga hilir adalah perusahaan-perusahaan multinasional sekaligus pemegang saham terbesar dalam penentuan harga. Dengan demikian, persoalan mengapa kenaikan harga pangan tidak atau kurang berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani adalah karena petani tidak berdaulat atas hasil pertanian mereka sendiri.
Tentang Reforma Agraria
Ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan menjadi impian bangsa ini. Akan tetapi ada prasyarat yang melandasi ketiganya, yaitu kedaulatan dan kesejahteraan petani. Inilah substansi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan, salah satu kebijakan yang mutlak perlu diambil oleh pemerintah ialah melakukan reforma agraria. Reforma agraria menurut seorang penulis, Gunawan Wiradi (2005), adalah penataan ulang susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber agraria, terutama tanah, untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, dan lain-lain) secara menyeluruh dan komprehensif. Salah satu pesan utama reforma agraria adalah memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengelola tanah negara. Menurut Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 56 Tahun 1960, idealnya tiap petani memiliki lahan 2 hektar.
Sampai saat ini reforma agraria kadangkala dianggap sebagai hal yang utofis karena merombak tatanan kepemilikan lahan yang sudah ada. Artinya gagasan ini perlu dielaborasi lebih lanjut agar reforma agraria tidak sekedar bagi-bagi lahan tanpa terjamin ketepatan dan sustainabilitas penggunaannya.
Mencita-citakan Kedaulatan dan Kesejahteraan Petani
Ketika Turki Usmani mengalami puncak kejayaannya, penduduk turki sangat banyak tetapi terjadi efisiensi. Sebagian besar industri menggunakan tenaga manusia. Adapun ketika Inggris mengalami revolusi industri, terjadi juga efisiensi dengan terbantunya banyak pekerjaan manusia oleh mesin-mesin yang baru ditemukan tanpa menyisakan pengangguran karena penduduk Inggris tidak sebanyak Turki. Artinya ada dua efisiensi yang berbeda bentuk.
Mungkin sebagian orang sempat berfikir untuk mempersedikit jumlah petani agar kepemilikan lahan bisa cukup luas dan petani akan sejahtera. Sebagian petani dipaksa beralih profesi seiring tergerusnya lahan pertanian untuk ‘mempersilahkan’ petani lainnya menggarap lahan dengan luasan yang lebih layak. Sementara yang beralih profesi dipaksa untuk menguasai keahlian baru menjadi buruh di pabrik-pabrik dan kerja serabutan sekaligus menjadi kaum urban. Cara berfikir seperti itu adalah cara berfikir Robert Malthus. Kompetisi yang kejam dianggap suatu keniscayaan karena bumi ini tidak cukup dinikmati terlalu banyak orang.
Biarlah petani Indonesia tetap menjadi petani. Ini adalah kearifan bangsa kita. Yang mesti dilakukan pemerintah bukan mengurangi jumlah petani dengan alasan efisiensi, akan tetapi mengoptimalkan keberadaan mereka dengan menjamin kedaulatan dan kesejahteraan mereka untuk mencapai ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan nasional yang berkeadilan sosial. Reforma agraria akan menjadi tuntutan abadi jika tidak pernah ada political will yang nyata dari pemerintah untuk melakukannya.
Negara kita, Indonesia diberi kehormatan oleh Tuhan sebagai negara kepulauan yang terkenal subur tanahnya dan memiliki iklim yang baik untuk...
Menuntut (Kembali) Reforma Agraria
About author: Diki Saefurohman
Pribadi yang tertarik dengan dunia sains, filsafat, dan politik. Penikmat sejarah dan sastra. Sedang mendalami dunia bisnis dengan pendekatan praktis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: