Era keterbukaan informasi menjadikan arus informasi yang diterima individu sangat deras. Mungkin ini yang menyebabkan banyak orang sekar...

Banyak Membaca dan Menahan Banyak Berbicara


Era keterbukaan informasi menjadikan arus informasi yang diterima individu sangat deras. Mungkin ini yang menyebabkan banyak orang sekarang merasa cukup untuk menjadikan arus informasi yang diterimanya, terutama melalui media sosial sebagai bahan pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian berusaha mendominasi pembicaraan yang lain dengan hanya berbekal informasi dari media sosial tersebut, baik berupa broadcast whatsapp, twit selebtwit, post instagram, judul berita, sebagian isi berita yang tidak kredibel, dan lain sebagainya yang serba instan.

Segi positifnya, masyarakat menjadi cukup dinamis berdialog tentang isu-isu terkini – walaupun sebenarnya isu itu merupakan produk dari issue maker – dengan sangat intens. Artinya ada kesadaran publik untuk merespon, terutama isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah secara tematik. Ini yang memang salah satu yang diharapkan di alam demokrasi: keterlibatan publik membicarakan kebijakan pemerintah.

Akan tetapi, karena bahan pembicaraan mayoritas adalah dari sumber yang bersifat instan, dan tidak komprehensif (terutama media sosial), maka pembicaraan tidak konseptual dan mendestruksi kohesi sosial karena lebih banyak menimbulkan konflik daripada solusi bersama. Pembicaraan lebih bersifat debat, alih-alih diskusi yang bermanfaat untuk menyatukan pikiran.

Saya melihat, dalam hal ini budaya banyak membaca dan menahan banyak berbicara menjadi hal yang sangat mendesak untuk menyelamatkan masyarakat dari disintegrasi sosial dan kesalahan berpikir yang merajalela, terutama dengan meningkatnya arus info yang tidak akurat, parsial, dan sudah ter-framing (terbingkai untuk membenarkan pendapat maupun sudut pandang tertentu) dalam saluran-saluran media sosial. Banyak membaca yang saya maksud, terutama adalah banyak membaca buku, bukan potongan-potongan tulisan, artikel singkat, broadcast whatsapp, ataupun tulisan-tulisan yang terlalu pendek untuk bisa disebut sebagai sumber argumen yang berbobot dan komprehensif.

Kenapa kita perlu banyak membaca? Saya ingin mengemukaan sedikitnya lima hal berikut:

1. Membuat otak terbiasa berpikir sistematis
Buku pada umumnya bersifat sistematis. Sekalipun buku yang merupakan kumpulan tulisan, biasanya sudah disusun agar berpola ataupun beralur. Hal ini mendorong otak kita yang membacanya ikut terbiasa dengan pola tersebut. Dengan terbiasa dan banyak membaca buku, pikiran akan terlatih untuk berpikir runut, tersistem, tidak rancu.
Dalam keseharian kita, dengan terbiasa membaca buku menjadikan kita mampu merespon isu dengan pendekatan sistemik. Jika tidak terbiasa berpikir sistemik, maka kita akan terjebak dengan pola one problem one solution, satu masalah satu solusi, ini menjadikan solusi yang dibuat bersifat tambal sulam dan tidak siap dengan masalah yang muncul kemudian. Kemudian terbiasa dengan penyederhaan masalah, simplifikasi. Saya sering mendengarkan pendapat di masayarakat bahwa solusi korupsi adalah hukuman mati untuk koruptor. Just it. Tidak ada elaborasinya, apalagi berbicara landasan filosofis dan yuridisnya. 

2. Buku merupakan sumber yang cukup komprehensif untuk membincang tema tertentu
Dalam sebuah buku biasanya pembahasan cukup bisa dikatakan lengkap dibandingkan artikel-artikel apalagi hanya potongan pernyataan dalam postingan media sosial. Pembaca buku yang baik akan terbiasa melihat area permasalahan yang dibincang dengan cukup luas. Dan berusaha terhindar dari kebiasaan buruk cherry picking, jenis kesalahan berpikir yang hanya mengambil data dan fakta yang mendukung opininya saja, sisanya diabaikan. 
Dalam membaca buku kita dilatih menerima argumen tanpa dipotong-potong. Artinya, kita siap menggunakannya untuk bahan pembicaraan yang tidak parsial dan setengah-setengah.

3. Membuat diri bersabar memilah dan menyerap kebenaran
Membaca buku mendorong kita memikirkan secara perlahan informasi yang diterima dan tidak terburu-buru menyimpulkan suatu permasalahan. Dalam pembicaraan masalah publik, kita kadang terjebak dalam sikap reaktif. Langsung merespon dengan emosional fenomena ataupun pendapat yang tidak sesuai dengan pandangan kita. Padahal boleh jadi informasi yang kita terima belum utuh, atau di balik informasi tersebut ada argumentasi yang sebenernya jika dikemukakan kepada kita, kita juga akan menerimanya.
Saya kadang membaca buku yang menurut saya membosankan dan sudah bisa ditebak inti isinya apa. Tapi dengan memaksa diri membaca buku tersebut, tetap saja saya dapatkan manfaatnya berupa pengetahuan-pengetahuan sederhana yang kadang saya luput dari pengetahuan tersebut, padahal bermanfaat untuk refleksi diri.

4. Menjadikan otak terbiasa menggunakan multi perspektif dalam berpikir
Isi kepala tiap penulis buku tentu berbeda-beda. Pandangan mereka dalam satu hal yang sama pun berbeda-beda. Dengan membaca buku, alam pikiran kita lebih indah. Kaya akan warna karena multi perspektif. Saya pernah membaca buku penciptaan dan akhir alam raya dari perspektif teori fisika kosmos. Tentu sangat materialis, tidak menegaskan esksistensi Tuhan di sana. Tetapi saya menjadi paham bagaimana ragam pemikiran itu menjadi ada. Dan saya tidak akan kaget jika nanti di ruang publik ada orang-orang yang membahas hal-hal seperti itu karena perspektif mereka sudah saya pahami sebelumnya. Jika saya memiliki argumentasi yang kontradiktif dengan mereka tentu saya sudah cukup mampu memulai dari mana membantah argumentasi-argumentasi mereka.
Multi perspektif ini juga yang membuat kita lebih luwes bergaul dan mencoba toleran terhadap perbedaan pikiran tanpa terjebak ke dalam sikap membenarkan semua pikiran atau bersikap permisif (serba membolehkan) terhadap semua hal.

5. Mengasah bahasa dengan berbagai macam gaya bahasa, dan ini membantu memahami informasi dari orang lain lebih mendalam
Suatu saat saya membaca buku tentang konsep hidup sekaligus motivasi yang menurut saya bahasnya terlalu sederhana, dan terlalu datar. Tidak ada kata-kata yang cukup bertenaga – kebetulan saya lebih suka bahasa sastra dalam hal-hal yang bersifat motivasi -. Tetapi setelah saya membaca semua isinya, ada sisi lain yang saya tangkap selain isi buku itu. Saya tiba-tiba berpikir bahwa upaya orang menyampaikan pesan dan kesannya kepada orang lain sangat variatif. Kita sebagai pembaca perlu menerima ini agar nilai yang ingin disampaikan penulis dapat kita tangkap. 

Sama halnya dalam pembicaraan publik. Kadang informasi dari orang lain tidak mampu kita telaah dengan sempurna karena kita cenderung menerima bahasa yang sesuai dengan rasa bahasa yang kita sukai saja. Jika kita terbiasa membaca buku dengan beragam gaya bahasa, tentunya akan melatih kita untuk mampu menalaah informasi dari orang lain walaupun bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan gaya bahasa yang kita sukai.

Dengan budaya membaca buku yang lebih baik, saya yakin kohesi sosial akan terjaga, walau bagaimanapun bising dan kerasnya perdebatan dalam ruang publik. Karena pembaca buku biasanya lebih siap untuk berbeda pendapat. Catatannya, jangan ekslusif dalam membaca buku, yaitu hanya membaca buku yang dianggapnya benar, padahal belum mencoba membaca buku yang dianggapnya salah!

0 komentar: