Filsafat sebagai induk segala ilmu menjadi istilah yang pembahasannya dianggap sulit dipahami oleh kebanyakan orang, sekaligus sesuatu yang ...

Memahami Filsafat Sebagai Pisau Bedah Human Problem; Sebuah Alternatif Pemaknaan


Filsafat sebagai induk segala ilmu menjadi istilah yang pembahasannya dianggap sulit dipahami oleh kebanyakan orang, sekaligus sesuatu yang ditakuti oleh beberapa kelompok keagamaan konservatif karena cenderung bernuansa liberal; menabrak batas-batas doktrin keagamaan. Saya tidak terlalu memahami kenapa filsafat ter-stigma begitu. Mungkin karena secara faktual memang filsafat terlalu njelimet dan terlalu jauh pembahasannya dari persoalan praktis sehari-hari. Mungkin juga ada faktor lain, misalkan secara historis (khususnya dalam tradisi Islam) filsafat pernah diserang habis-habisan oleh kalangan ulama fikih dan tasawuf (khusunya Imam Ghazali) sehingga perkembangan filsafat dalam tradisi Islam mengalami stagnansi bahkan kemerosotan.


Saya termasuk yang mencoba memahami filsafat, khususnya yang datang dari tradisi 'Barat' dan 'Islam'. Bukan karena kepentingan akademis, alih-alih hanya karena saya tertarik kepada pemikiran-pemikiran filosofis sejak kecil. Walaupun masa kecil saya tumbuh di lingkungan tradisional Islam, bahkan almarhum kakek saya adalah Kyai konservatif yang mengharamkan pengeras suara di masjid, untungnya saya sempat membaca buku Falsafah Hidup karya Buya Hamka. Buku tersebut menjadikan saya lebih rileks dalam memahami dinamika kritik bahkan kecaman tradisi fikih dan tasawuf terhadap filsafat.


Seiring bertambahnya usia, hobi menyempatkan membaca buku-buku yang bertemakan filsafat menjadi kebutuhan tersendiri, terutama dalam memaknai hidup dan menghadapi masalah-masalah manusia (human problem), baik yang dialami diri sendiri maupun orang lain pada umumnya. Saya ingat, sewaktu kuliah rasanya bersemangat sekali membaca pikiran-pikiran 'kiri' karena alam kebatinan saya sedang bergairah sebagai aktifis kampus yang sehari-harinya hampir selalu berkutat dengan isu-isu sosial politik yang bernuansa perlawanan terhadap dominasi dan penindasan kekuatan politik yang sangat kapitalistik. Adapun setelah lulus kuliah lebih banyak membaca tema filsafat yang berkutat pada persoalan epistemologi (cabang filsafat yang berkaitan dengan teori pengetahuan) dan filsafat hikmah (salah satu cabang filsafat Islam yang menggabungkan aliran rasional dan mistisme dalam traidisi Islam).


Sempat saya berpikir (sampai sekarang), karena saya membaca buku filsafat hanya karena hobi yang bertemu dengan kebutuhan faktual saya sehari-hari, maka saya memahami filsafat secara pragmatis. Saya mencoba memahami filsafat terkait kebutuhan saya akan filsafat sebagai pisau bedah memahami human problem agar dapat dipecahkan akar masalahnya, minimal dalam diri sendiri tidak ada kegamangan dalam menghadapinya dan memiliki posisi yang jelas dalam bersikap terhadap problem tersebut. Misalkan, dalam keseharian saya memiliki kepentingan dalam melawan dominasi pandangan bahwa metode ilmiah (khusunya positivisme) adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran sampai-sampai sesuatu yang dilabeli saintifik / bersifat ilmiah tidak bisa dibantah dan dianggap kebenaran tertinggi. Maka, saya memahami kelemahan klaim sekaligus asumsi tersebut dengan membaca pemikiran 'anarkisme epistemologis' yang diperkenalkan oleh Paul Feyerabend. Dalam hal ini saya memiliki kepentingan untuk melawan represi kebenaran metode ilmiah terhadap kebenaran metode-metode yang lain.


Atas dasar pragmatisme tadi, tentu dengan membaca pemikiran-pemikiran filsafat tidak menjadikan saya seorang liberal yang lepas dari kehidupan keagamaan tradisional saya. Saya kira, bersikap pragmatis dalam membaca pemikiran-pemikiran filosofis menjadi alternatif tersendiri dalam upaya kita memaknai filsafat. Saya berpandangan, filsafat termasuk ilmu yang tidak ada bedanya dengan ilmu-ilmu lain yang kita terima di sekolah. Ia bisa menjadi pisau yang digunakan untuk melukai, maupun untuk memotong sayuran ketika memasak. Dengan pandangan ini mudah-mudahan kita bisa menjadi lebih rileks dalam berpapasan dengan hal-hal yang berbau filsafat. Syukur-syukur mau mencicipinya agar tidak salah menilai rasanya (filsafat).


0 komentar: