Abad 21 dalam perspektif bangsa kita, sesungguhnya adalah sejarah anak-anak muda. Menjelang abad 21 anak-anak muda bangsa ini menyelesaikan tugasnya menuntaskan reformasi. Kita tahu, ketika itu rezim Soeharto membangun negara dengan menyumpal mulut rakyat. Memonopoli kebenaran. Tak jauh berbeda dengan sejarah-sejarah para tiran; sedikit mengambil alih kekuasaan Tuhan.
Mungkin kita harus kembali mengingat sejarah menjelang reformasi. Ketika itu idealisme terpasung di alam kenyataan. Janji kemakmuran terpasung dalam krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat, suara keadilan terbungkam dalam tirani kekuasaan, kebebasan ditindas oleh kediktatoran. Ketika itu tiba-tiba muncul kegelisahan yang meresahkan jiwa anak-anak muda dan mencabut semua kenyamanan hidup mereka. Maka mereka bergerak dan segera berdiri di garis depan menyambut penggilan sejarah. Tapi anak muda macam manakah mereka? "Mereka adalah anak-anak muda yang telah beriman kepada Tuhan mereka, lalu Kami tambahkan petunjuk kepada mereka." (Al-Kahfi : 13)
Akan tetapi sekarang reformasi menemui jalan buntu. Sepertinya ada yang salah. Sepuluh tahun lebih pasca reformasi seolah-olah tidak ada perubahan kehidupan rakyat kecuali kebebasan yang lost control. Wajah masyarakat masih ditutupi keterbelakangan pendidikan dan keterpurukan ekonomi.
Nampaknya sistem yang berubah tidak diiringi oleh perubahan kepemimpinan. Terjadi ketimpangan. Ruh kepemimpinan lama tidak kompatibel dengan sistem yang baru. Ini karena yang memimpin masih banyak dari kalangan imigran demokrasi-meminjam terminologi Anis Matta. Mereka generasi pra reformasi yang masih berusaha melestarikan masyarakat feodal. Selalu ingin dihormati, tidak mau digantikan oleh generasi baru; penyakit keangkuhan dan ketamakan.
Kita, anak-anak muda sekarang harus segera kembali mengkonsolidasikan diri, mencabut harapan pada pemerintahan ini, dan segera mematangkan diri secara dini, kemudian berkata dengan yakin kepada bangsa ini:
Tuntaskan reformasi
Percepat alih generasi
Dan pertahankan keutuhan Indonesia.
Mungkin memang harus begini kejadiannya. Bahwa sejarah menghendaki kita melangkah lebih cepat untuk menyelamatkan bangsa ini. Kita harus kembali penuhi jalan-jalan. Tanpa mengurangi rasa hormat, barangkali merupakan dosa untuk terus mempercayai tugas sejarah ini kepada orang-orang tua kita sekarang (Matta, 2011).
Tapi sayang seribu sayang, kesadaran akan keresahan ini nampaknya tidak banyak dirasakan oleh generasi muda pasca reformasi. Padahal kita adalah native demokrasi. Kita terlalu nyaman. Cita-cita kemanusiaan kita terlalu kecil. Banyak orientasi eksistensi individu yang sangat kerdil; hidup adalah kejayaan pribadi. Orientasi ini terlalu hina untuk dimuat dalam rentang sejarah kemanusiaan.
Kalau kita mendambakan bangsa kita menjadi bangsa yang besar kita harus bertaubat dari penyakit ini; penyakit orientasi kejayaan pribadi. Saya khawatir bahwa suatu saat kita termasuk di antara orang yang disebut Sayyid Quthb : ‘Siapa yang hidup bagi dirinya sendiri, ia akan hidup sebagai manusia kerdil dan mati sebagai manusia kerdil.’
Tidak! Kita tidak ingin mati dalam kekerdilan jiwa. Kita tidak ingin mati dalam kehinaan materialisme dan individualisme. Kita tidak mau hidup autis; tidak mau tau urusan orang lain; masyarakatnya, bangsanya, umatnya. Nurani kita harus terpanggil untuk menyambut panggilan sejarah; untuk menyelamatkan bangsa dan membawanya ke altar peradaban yang baru; peradaban yang berkeimanan sebagaimana yang dicita-citakan generasi awal bangsa ini yang tercermin dalam pengakuan konstitusi kita akan kebesaran Tuhan dalam pendirian republik ini-dalam pembukaan UUD 45 kita menulis “atas berkat rahmat Allah”. Harusnya ini menjadi orientasi kolektif.
Kita akan menempuh jalan yang terhormat ini; jalan para pahlawan. Kita juga akan mati dalam keadaan terhormat. Tapi ini butuh pengorbanan. Begitu perjuangan untuk bangsa ini disiram dengan pengorbanan dia akan tetap tumbuh. Jadi, rahasia yang menjawab mengapa suatu perjuangan terus tumbuh dan tidak berhenti adalah seberapa besar pengorbanan yang kita berikan kepada perjuangan tersebut. Oleh karena itu, pengorbanan seperti air yang menyirami tanaman, seperti matahari yang memberikan energi kepada tanaman, seperti udara yang menghidupkan tanaman. Jika gabungan dari air, udara, dan matahari ini ada insya Allah tanaman itu akan tumbuh dan memberikan manfaatnya.
Suatu saat pengorbanan yang kita berikan menjadi bagian dari kekuatan yang menjadikan sepotong sajak Taufik Ismail (1998) menjadi kenyataan :
Seluruh jajaran aparat kenegaraan di atas umur tiga puluh sudah bersedia berdiri ke pinggir secara menyeluruh.
Bangsa kini dipimpin oleh anak-anak muda yang sebenar bersih.
Kami muncul lewat tahun-tahun pengalaman yang sangat pedih.
Krakatau, 14 November 2011 10:24 WIB
Abad 21 dalam perspektif bangsa kita, sesungguhnya adalah sejarah anak-anak muda. Menjelang abad 21 anak-anak muda bangsa ini menyelesaikan ...
Sejarah Anak-Anak Muda
About author: Diki Saefurohman
Pribadi yang tertarik dengan dunia sains, filsafat, dan politik. Penikmat sejarah dan sastra. Sedang mendalami dunia bisnis dengan pendekatan praktis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
postingan dalam postingan :D... jzaklh atas responnya yang sangat menggebu-gebu :D
BalasHapusKomentar kok copasan XD
BalasHapuswa iyyaka bung. Emang tahu ekspresi saya saat saya ngetik? nggak kan? -tertawa-
BalasHapusJangan disibukkan masalah kecil.
BalasHapusPermisi,
BalasHapusnumpang lewat.
eh, jangan ngelewatin orang yang lagi marahan :D
BalasHapusMonggo.. lewat :D
BalasHapusmemang siapa yang sedang marahan mas?
BalasHapussampun mbak...
BalasHapusmboten sah ditanggepi. Niki lare-lare podo guyon tok. :)
nggeh... kulo sampun semerap mbak yu
BalasHapusditunggu tulisannya lagi, mbak :)
BalasHapus