Ketika gerakan dakwah di Al-Jazair dan Libanon (1975) dihancurkan oleh penguasa Tiran orang-orang mengira bahwa tidak ada lagi eksistensinya sebagai sebuah gerakan. Tidak ada aktifitas organisasi yang nampak. Tidak ada ceramah-ceramah keislaman. Sepi. Sunyi. Mencekam. Ketika itu gerakan dakwah divonis mati.
Tiba-tiba saja di balik-balik tembok rumah berkumpul beberapa orang duduk melingkar membahas Al-Qur’an. Mereka tidak sedang melakukan konsolidasi untuk mengawali lagi gerakan dakwah. Mereka melakukan aktifitas rutin. Muncul atau tidak munculnya gerakan dakwah di pentas hiruk pikuk kehidupan manusia aktifitas ini tetap berjalan. Ada atau tidak adanya kesempatan untuk melakukan konsolidasi aktifitas ini juga tetap berjalan. Inilah denyut nadi gerakan dakwah; usroh, halaqoh atau liqo.
Inilah sarana yang dianjurkan oleh Islam agar dijadikan sebagai kancah utama pembentukan manusia-manusia yang luhur dan umat yang kokoh. Dari usroh lah generasi Qur’an perdana; para sahabat dilahirkan. Dahulu Rasulullah mengawali pembinaan mereka dalam lingkaran-lingkaran kecil ini. Juga mengawal mereka menuju puncak sejarah melalui lingkaran-lingkaran kecil ini. Sampai pada akhirnya satu-persatu dari mereka meraih kehormatan bertemu dengan Allah. Maka pantaslah Hasan Al-Bana berkata, “Islam sangat memperhatikan pembentukan usar (usroh-usroh) dari pengikut-pengikutnya, yang membimbing mereka kepada nilai-nilai luhur, memperkokoh ikatan, dan mengangkat derajat ukhuwah (persaudaraan) mereka dari sekedar kata dan teori menuju realita dan amal nyata.”
Dahulu di Mesir para perintis usroh ini berupaya keras memacu laju penyebarannya. Namun kini justru laju penyebaran usroh sangat kencang sehingga mendahului kita. Ia merambah segenap penjuru negeri dan memaksa untuk ditangani dengan serius.
Selain denyut nadi gerakan dakwah, pada hakikatnya usroh ini adalah batu bata penyusun peradaban berkeimanan yang dicita-citakan oleh kita dan para pendahulu kita. Ia harus kokoh dan dapat menyatu secara solid. Maka tiga pilar ikatan usroh harus kita pahami dan realisasikan; ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), dan takaful (saling menanggung beban). Selain kokoh dan menyatu dengan solid, ia harus berkesinambungan. Bahkan ketika umat ini memimpin dunia yang kedua kalinya usroh harus tetap mempertahankan eksistensinya sebagai batu bata yang baik, maka jangan sampai kita melubangi batu bata itu.
Saya kira tidak berlebihan jika dikatakan usroh, halaqoh atau liqo adalah denyut nadi umat pembebas; umat yang membebaskan manusia dari ketaatan kepada selain Allah.
Ketika gerakan dakwah di Al-Jazair dan Libanon (1975) dihancurkan oleh penguasa Tiran orang-orang mengira bahwa tidak ada lagi eksistensinya...
Denyut Nadi Umat Pembebas
About author: Diki Saefurohman
Pribadi yang tertarik dengan dunia sains, filsafat, dan politik. Penikmat sejarah dan sastra. Sedang mendalami dunia bisnis dengan pendekatan praktis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: