Sang Rasul, Muhammad pernah berdo’a, “berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (Al-Israa : 80).” Seorang Mufassir, Qotadah mengomentari ayat tersebut dengan ungkapan, “Sesungguhnya Nabi Muhammad mengetahui bahwa tiada daya untuk mengemban tugas kecuali dengan kekuasaan.” Dengan kekuasaan lah kamu dapat berdiri tegak berhadapan dengan musuhmu. Dengan kekuasaan lah kamu dapat menangkal kedzoliman di bumi. Dengan kekuasaan lah kamu dapat menundukkan penguasa tiran. Dengan kekuasaan lah kamu dapat dengan gagah menyeru bangsa-bangsa dan pemimpin mereka untuk mengikuti risalah nubuwwah, mengikuti jalan keselamatan sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi Sulaiman. Ketika beliau mengirim surat kepada Ratu Balqis, begitulah kekuasaan bekerja memainkan diplomasinya. Innahu min Sulaiman wa innahu bismillahirrohmaanirrohiim ala ta’lu alayya wa’ tuunii muslimiin (An-Naml : 30-31). Surat ini datangnya dari Sulaiman, datangnya dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Jangan coba-coba membangkang padaku, datanglah padaku dalam keadaan menyerahkan diri.
Inilah sarana di atas sarana. Tidak ada yang dapat meredam gelombang kebenaran yang kamu ciptakan dengan kekuasaan. Ketika itulah kebenaran akan memancarkan wibawanya.
Tapi kamu juga harus tahu akan sisi lain kekuasaan. Selain sarana di atas sarana ia juga merupakan syahwat di atas syahwat. Ia adalah kunci dunia yang dapat memberimu segalanya : kebesaran, kemegahan, kemudahan, popularitas, uang, seks. Semuanya. Kamu harus berhati-hati dengan penglihatanmu sendiri! Kamu mungkin tertipu. Ketika kamu memegang kekuasaan, kamu sedang berada di puncak. Apa yang kamu lihat di sini bukanlah apa yang kamu cari. Ini hanya sarana. Ini hanya fatamorgana. Tujuanmu masih ada di ujung sana, di balik fatamorgana ini : surga.
Kekuasaan terlalu memperdaya, sehingga tidak mustahil kekuasaan itu dapat menjatuhkanmu; menjatuhkan kehormatanmu, menjatuhkan martabatmu jikalau kekuasaan itu tidak sepadan dengan kemampuan yang kamu miliki. Maka ingatlah pesan orang bijak dan sang pendiri imperium keadilan, Umar bin Khattab : berfiqihlah sebelum kau memimpin !
Waj’alna lil muttaqiina imaaman
Dan jadikanlah kami pemimpin (imam) bagi orang-orang yang bertaqwa (Al-Furqon : 74)
Bantulah. Ingatkanlah. Kami saudaramu, yang punya semangat untuk selalu belajar. Jika dalam semangat itu ada kekeliruan maka luruskanlah. Jika dalam progress itu ada kedangkalan maka isilah, temanilah kami dalam memperkuat jati diri, Betapa Allah telah memberikan kebaikan dan kecenderungan masing-masing pada diri seseorang. Dengan makna yang begitu indah, Allah memberikan kita sarana untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, saling mencuri start untuk saling mengisi kekosongan. Di sinilah harga mahalnya, sebab, proses, dan penyelesaian. Saling melengkapi satu sama lain. Ada yang belajar dari huruf ada yang belajar dari hidupnya, kesehariannya, sungguh tiada esensi yang berbeda hanya saja prosesnya yang berbeda... beda cover, beda bingkai, tapi satu makna.
BalasHapusJika ingin membedah betapa rasa ingin tahu yang tinggi. Silahkan membukanya atas rasa peka yang tulus, bahwa hidup ini memang penuh strategi. Bahkan saat seekor kenari terbang di atas dahan ranting, ia harus berpikir berkali-kali untuk "stake holder" di sekitarnya, angin, cahaya, panas, dahan, bahkan kenari yang lain. Tapi ia bisa jadi boomerang jika tanpa diiringi dengan kepekaan yang tulus.
Ditunggu lagi ya Bung!
Mungkin bukan kekuasaan, tapi pengaruh (Influence). Artikel yang bagus sekali... teruslah menulis, Diki :D
BalasHapussip, makasi kadri :)
BalasHapusnatikan episode selanjutnya :D
BalasHapus