Tsaqofah atau wawasan merupakan salah satu pintu kebenaran yang membuat seseorang siap mengemban misi hidup yang diyakininya. Maka tidak he...

Menyusun Kembali Hirarki Tsaqofah Kita

Tsaqofah atau wawasan merupakan salah satu pintu kebenaran yang membuat seseorang siap mengemban misi hidup yang diyakininya. Maka tidak heran ayat pertama yang diturunkan kepada Sang Rasul adalah perintah membaca : iqra! Ini adalah isyarat akan pentingnya menyusun bangunan tsaqofah dalam mengawali perjuangan.

Terkadang tsaqofah yang kita bangun tidak memiliki struktur pemikiran yang jelas dalam benak kita. Semua bercampur baur sehingga tidak menciptakan pola pikir yang matang. Oleh karena itu kita perlu membagi tsaqofah muslim menjadi dua kelompok besar, yaitu tsaqofah dzatiyah dan tsaqofah mu’ashiroh.

Tsaqofah dzatiyah adalah tsaqofah yang tidak mungkin terpisahkan dari pribadi muslim. Tsaqofah ini menjadi identitas, karakter, dan ciri khas setiap muslim. Secara umum tsaqofah ini dapat kita sebut ilmu syari’ah. Akan tetapi dalam standar minimal jumlah ilmu yang harus dikuasai dari tsaqofah ini terdapat banyak teori. Ustadz Sa’id Hawa dalam bukunya Jundullah Tsaqofatan wa Akhlaqon menetapkan standar ilmu syari’ah bagi seorang muslim pengemban risalah nubuwah (misi kenabian) yang dalam pandangan saya cukup berat, yaitu : Ushulus Tsalatsah (Allah, Rasulullah, dan Islam), Ulumul Qur’an, As sunah, Ushul Fiqh, Ilmu yang sifatnya teoritis (Ilmu Aqo’id/Aqidah, Akhlaq, dan Ilmu Fiqh), Sejarah Umat Islam dan Kekiniannya, Disiplin Ilmu Bahasa Arab, Kajian Islam Kontemporer, dan Pemahaman Dakwah dan Praktiknya.

Adapun tsaqofah mu’ashiroh adalah tsaqofah yang harus dimiliki seorang muslim sebagai perangkat untuk mengelola bumi dan isinya. Secara umum tsaqofah ini berupa ilmu profesi dan sosial humaniora. Tsaqofah inilah yang menunjang fungsi manusia sebagai pengelola bumi dan isinya (khilafah fil ardh) secara teknis. Oleh sebab itu dalam konteks kekinian harus ada satu cabang dari tsaqofah ini yang menjadi spesialisasi kita. Kemudian tsaqofah ini tidak akan berfungsi secara tepat sesuai kemaslahatan manusia jika tidak dilandasi oleh tsaqofah dzatiyah sebagai pembentuk self control mecanism pada manusia.

Semua tsaqofah di atas harus dikuasai oleh seorang muslim. Permasalahannya sekarang ada pada proporsinya. Tidak mungkin semua tsaqofah itu kita kuasai secara mendalam. Kita tidak dituntut untuk menjadi manusia berpengetahuan ensiklopedi. Walaupun pada masa keemasan Islam klasik banyak yang menjadi pakar dalam tsaqofah dzatiyah sekaligus tsaqofah mu’ashiroh. Ibnu Sina; seorang filsuf aqidah sekaligus pakar kedokteran, Imam abu Hanifah; seorang faqih (ahli fiqh) sekaligus pakar dan praktisi bisnis, Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi; seorang sejarawan Islam sekaligus pakar matematika mereka semua bisa kita temukan pada masa itu. Akan tetapi ketatnya disiplin ilmu pada zaman sekarang sangat sulit bahkan tidak memungkinkan melahirkan manusia-manusia seperti itu lagi. Spesialisasi ilmu sudah sangat spesifik dengan sekat-sekatnya tersendiri.

Setidaknya permasalahan proporsi tsaqofah dapat diatasi dengan membenahi hirarki tsaqofah dalam benak kita. Tsaqofah dzatiyah sebagai pembentuk identitas, karakter, dan ciri khas harus dijadikan pondasi. Adapun tsaqofah mu’ashiroh disusun di atasnya sebagai perangkat teknis pengelolaan bumi dan isinya. Dengan begitu mudah-mudahan kita akan terlahir sebagai manusia yang memiliki kompetensi unggulan dan selalu on mission.

1 komentar: