“Tolong katakan padaku, ke mana arah jalan pulang dari sini?” “Tergantung ke mana kamu mau pergi,” kata si kucing. “Aku tidak begitu peduli ...

Konstruksi Misi Hidup Kita

“Tolong katakan padaku, ke mana arah jalan pulang dari sini?”
“Tergantung ke mana kamu mau pergi,” kata si kucing.
“Aku tidak begitu peduli ke mana,” jawab Alice.
“Kalau begitu ke mana pun kamu pergi bukan masalah,” kata si kucing.
-Alice Adventures in Wonderland by Lewis Carroll

Tidak ada identifikasi salah atau benar, menyimpang atau tidak menyimpang, tersesat atau tidak tersesat. Semua itu karena tidak ada misi hidup yang jelas.

Saya termasuk orang yang sangat setuju dengan pemikiran Ustadz Anis Matta bahwa misi hidup secara maknawi itu given. Secara maknawi misi hidup kita tidak kita formulasikan karena status kita sebagai ciptaan. Tidak heran dalam pedoman hidup kita terdapat teks yang sudah jelas akan misi hidup ini : “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada Ku” (Adz-Dzariyat : 56).

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah konsep ibadah seperti apa yang harus kita amalkan dalam rentang waktu hidup kita di dunia ini? Setidaknya ayat terakhir surat Al-Ashr menunjukan kita akan point-point umum dalam merepresentasikan  makna ibadah agar kita tidak merugi dalam hidup. Beginilah teksnya : “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Representasi ibadah yang pertama adalah iman. Iman adalah hasil akhir dari proses pengetahuan, pemahaman, dan keyakinan. Maka di sini ada perpaduan antara akal dan hati yang diekspresikan oleh ucapan dan perbuatan. Inilah maksud dari ungkapan makna iman dalam kitab-kitab aqidah : tashdiiqun bil qolbi wa iqroorun bil lisan wa ‘amalun bil arkaan; membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Pada konteks inilah iblis dikatakan tidak beriman karena ia hanya mengetahui, memahami, meyakini, dan mengucapkan kebenaran tanpa mengamalkannya. Pada konteks ini pula kenapa orang-orang kafir Quraisy, Yahudi, dan Nashrani pada zaman Nabi Muhammad dikatakan tidak beriman karena mereka hanya mengetahui, memahami, dan meyakini tanpa mengucapkan dan mengamalkan dua kalimah syahadat – di sini kita harus memahami sejarah bahwa mereka semua memahami dan meyakini isyarat kenabian, makna syahadat, dan konsekuensinya.

Representasi ibadah yang kedua adalah amal saleh. Amal saleh adalah semua upaya untuk melakukan hal yang baik menurut persepsi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini makna umum. Sebenarnya ini tidak terlepas dari bagian keimanan berupa konsekuensi atas anggota badan. Inilah yang mengisyaratkan penegasan bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan. Harus senantiasa terpadu sebagai sata kesatuan dari representasi ibadah.

Kata Ustadz Anis Matta, iman dan amal saleh memiliki tiga komitmen : Pertama komitmen aqidah (keyakinan) kepada Islam; memahami dan meyakini dengan baik mengapa kita memilih Islam sebagai agama dan jalan hidup. Kedua komitmen metodologi (syariah) kepada Islam; menjadikan satuan-satuan ajaran Islam sebagai sistem dan tatanan kehidupan kita. Ketiga komitmen sikap (akhlak) kita kepada Islam; menjadikan ajaran moral Islam sebagai perilaku sehari-hari kita.

Representasi ibadah yang ketiga adalah saling menasehati dalam kebaikan. Ini mengisyaratkan agar iman dan amal saleh kita didistribusikan kepada orang lain. Di sinilah dakwah yang merupakan  risalah nubuwah (misi kenabian) menemukan konteksnya sebagai misi hidup manusia karena ia merupakan metode untuk mendistribusikan kebaikan. Ketika representasi ibadah ini telah kita penuhi maka kita telah menjadi peserta sosial yang sadar dan proaktif. Di sinilah kita menjadi da’i.

Kemudian pada proses distribusi kebaikan ini, kita harus mengoptimalkan kontribusi kita masing-masing sesuai dengan kompetensi unggulan yang dimiliki karena kita tidak bisa melakukan semuanya. Kemampuan kita terbatas. Setidaknya ada empat bidang kontribusi yang dapat kita optimalkan : pemikiran, kepemimpinan, profesional, dan finansial. Ketika kita mampu memberikan kontribusi sesuai dengan kompetensi unggulan kita, maka ketika itulah kita menjadi mujahid.

Representasi ibadah yang terakhir adalah saling menasehati dalam kesabaran. Ini adalah isyarat konsistensi. Inilah persoalan terberat bagi kita karena bagian yang paling menentukan dari kesuksesan kita dalam mengemban misi hidup adalah akhir hidup kita. Setelah kita berdarah-darah mencapai puncak sejarah seolah-olah dari kejauhan akhir surat Al-Ashr berseru, “Bertahanlah! Kau harus memiliki ambisi keabadian. Kau harus bertemu dengan Tuhanmu dalam keadaan terhormat agar kelak kau ceritakan episode panjang hidupmu kepada saudara-saudaramu di surga.”

Ya Allah, matikanlah kami dalam keadaan syahid di jalan-Mu.
Berikanlah kami akhir yang baik : husnul khotimah.
Aamiin..

2 komentar:

  1. Sepertinya berhubungan dengan postingan saya yang terbaru... maaf ya Diki, saya kasih link-back ya :) http://ahmad.alkadri10.student.ipb.ac.id/2012/01/30/kenapa-berbuat-baik/ Dan ya, ini penjelasan mengenai ibadah yang gamblang, konstruktif, dan mudah untuk dipahami... terima kasih atas artikel ini.

    Salam,

    BalasHapus
  2. Saya barusan baca artikelnya dri. Menarik, bahasanya mengalir. Saya perhatiin artikel2 kadri enak dibaca soalnya naratif banget gayanya. Sip, kita emang beda gaya bahasa tapi tetep satu ide :D Inget gak? kita punya beberapa kesamaan :D *inget masa-masa di SC KM

    BalasHapus