Pada saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia—kelak bernama Institut Pertanian Bogor (IPB), 27 April 1952, Bung Karno bicara panjang lebar soal pangan dan masa depan bangsa. “Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita di kemudian hari,” katanya.
Pertanian sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan. Dikatakan demikian karena pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah produk pertanian dalam arti luas. Harga bahan pokok melambung yang menyebabkan rakyat kecil kelaparan adalah masalah pertanian. Serbuan buah-buahan impor yang membuat para petani gulung tikar adalah masalah pertanian. Sampai gizi anak-anak adalah masalah pertanian juga.
Sebenarnya masalah yang kita perlu pecahkan adalah pertanian untuk jangka panjang. Tepatnya ini adalah masalah sustainabilitas pangan. Jika kita hanya bicara pemenuhan kebutuhan pangan, maka kita cukup bicara permintaan dan penawaran. Impor tidak dikatakan sebagai kesalahan pemerintah secara langsung dalam hal tersebut. Sederhana: produk pertanian dalam negeri tidak mencukupi, artinya kebijakan impor adalah keharusan. Akan tetapi jika kita bicara masa depan pemenuhan kebutuhan pangan, maka kita bicara keberpihakan pemerintah terhadap pertanian: apakah hendak membuat negara ini menjadi negara agraris dan maritim yang mandiri atau negara yang ketergantungan terhadap suplai pangan dari negara lain. Padahal ketergantungan itu merupakan ketidakpastian masa depan.
Tidak mudah untuk membangun kemandirian pangan karena institusi pertanian, dalam hal ini kementerian pertanian terkait dengan berbagai institusi yang lain seperti kementerian perindustrian, kementerian perdagangan, kementerian dalam negeri dll. Artinya banyak kebijakan yang mempengaruhi kondisi pertanian yang berasal dari luar kementerian pertanian. Misalnya saja, dalam hal ekspor dan impor produk pertanian, kementerian perdagangan lah yang memiliki wewenang. Jadi pada dasarnya organisasi pemerintah ini flat; datar dan saling memangkas wewenang.
Untuk mengatasi keabsurdan wewenang dalam upaya membangun ketahanan pangan yang ideal telah dibentuk kelembagaan ad hoc yang bernama Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang secara langsung di ketuai oleh Presiden di tingkat Nasional, lalu Gubernur di tingkat Provinsi, dan Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/Kota. Penetapan keberadaan DKP melalui Perpres 83/2006. DKP diberi tugas untuk memberi masukan, khusus nya dari sisi kebijakan-kebijakan strategis kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota (sesuai dengan tingkatan nya masing-masing) terkait dengan pembangunan ketahanan pangan.
Masalahnya sampai saat ini, belum nampak jelas terobosan kemajuan kuantitas dan kualitas produk pertanian secara beriringan dan sinergi antar struktur organisasi pemerintahan dalam membangun ketahanan pangan. Ini baru berbicara ketahanan pangan, belum berbicara tentang kemandirian pangan. Padahal sebagai kelembagaan ad hoc yang langsung diketuai oleh Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota, mestinya DKP mampu memainkan dua peran utama dalam menciptakan ketahanan pangan yang kuat dan tangguh. Pertama adalah sebagai "prime mover" (penggerak/pendorong utama) pembangunan ketahanan pangan; dan yang kedua adalah sebagai "integrator" dari berbagai organisasi perangkat pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan ke arah yang diharapkan.
Fenomena lain yang berkaitan dengan kegagalan DKP dalam mendorong kemajuan pertanian untuk mencapai ketahanan pangan adalah menurunnya jumlah rumah tangga petani gurem (kecil) sebanyak 25,07 persen dari tahun 2003 sampai tahun 2013 (Berita Resmi Statistik No. 90/12/Th. XVI, 2 Desember 2013). Padahal pangan dalam negeri di-support oleh petani gurem.
Melihat kenyataan di atas, rasanya masa depan ketersediaan pangan kita akan ditentukan oleh bangsa lain yang lebih siap mengambil alih peran sebagai penghasil pangan. Entah negara apa itu. Tapi itu semua tidak akan terjadi selama para pemimpin negeri ini sadar akan apa yang disampaikan Bung Karno terkait pertanian saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang kelak bernama Institut Pertanian Bogor (IPB). “Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita di kemudian hari,” katanya.
Luar biasa, saya juga memiliki sense yang serupa terhadap nasib pertanian kita di masa yang akan datang, saya kira untuk mengatasi permasalahan pertanian satu hal mendasar yang dibutuhkan adalah ketegasan,
BalasHapusketegasan ini yang dilakukan oleh Brazil sebagai produsen jagung terbesar ke 2 dunia meski baru dimulai 50 tahun yang lalu,
ketegasan ini yang dilakukan jepang sehingga menjadi salah satu negara superpower meski baru bangkit setelah tragedi hiroshima dan nagasaki 65 tahun silam,
bahkan ketegasan ini yang dilakukan oleh perusahan Apple ketika memilih pasar sehingga menegaskan dirinya sbg perusahaan teknologi kelas menegah keatas, begitupun perusahaan aqua yang menaikkan harga dengan fokus pada kualitas dan marketing serta bukti2 yang lain..
Fokus pembangunan pertanian dengan berbagai coor competence di dalamnya adalah solusi yang terbaik untuk mengatasi permasalahan klasik ini, tinggal bagaimana kita memilih, apakah kita memilih untuk menyelamatkan diri sebanyak2nya sebelum kehancuran yang kita perkirakan datang atau kita berani memperbaiki kehidupan walaupun akan sulit dengan berbagai tantangan? Dan ketahuilah teman2 yang membaca ini, jikalau teman2 memilih untuk berani mengubah, janganlah takut sendirian karena setidaknya ada 1 orang lagi yang memilih pilihan yang sama,
Indra Muhammad
Saya jadi ingat percakapan bapak-bapak setelah beres pengajian di sebuah kampung di Jakarta.
BalasHapusA: "Lama-lama orang akan berpikir, 'lebih mudah beli beras daripada nanam padi'."
B: "Benar itu. Seharusnya itu tugas IPB untuk menghasilkan varietas padi unggulan yang tahan terhadap perubahan iklim."
Dan saat itu saya hanya bisa terdiam berharap mereka tidak tahu bahwa saya adalah mahasiswa IPB (meskipun Fakultas Kehutanan).