Sekarang idealisme menjadi kata yang dianggap terlalu suci dan normatif, substansinya mustahil ada wujudnya secara sempurna, atau bahkan tidak ada dalam realita. Idealisme hanya ada dalam alam angan dan emosi pelajar yang belum bersentuhan dengan 'dunia masyarakat' secara utuh atau sebagian orang menyebutnya 'dunia pasca kampus'. Dunia pasca kampus adalah dunia pragmatisme, atau setidaknya idealisme yang 'menyesuaikan' dengan realita. Teringat pesan pegawai di kampus yang sempat berbincang tentang demonstrasi yang sering saya lakukan, "Sekarang gak apa-apa adek sangat idealis, kritik kebijakan pemerintah yang salah. Tapi kalau udah lulus jangan terlalu idealis, menyesuaikan saja."
Tapi kita tidak perlu khawatir, itu hanya pandangan sebagian orang saja. Tidak semuanya. Walaupun memang sebagian pandangan itu ada relitanya yang menimpa para aktivis. Bukan, lebih tepatnya mantan aktivis. Atau terkadang pandangan itu yang menghantui para aktivis ketika mereka dihadapkan dengan urusan mereka sendiri dan urusan masyarakat. Karena terlalu takut akan kesulitan hidup yang menimpa akhirnya mereka memilih jalan kompromi. Pada akhirnya mereka tidak banyak lagi berbicara masalah masayarakat, apalagi bangsa dan negara, tapi lebih banyak berbicara diri dan keluarga.
Sekarang memang cara pandang materialistik menjadi nilai yang mengakar secara tidak sadar dalam diri kita. Setidaknya jika tidak mengakar, nilai tersebut mempengaruhi cara berfikir kita. Idealisme yang lebih dekat kepada alam spiritual menjadikan pengusungnya oleh sebagian kita dianggap sebagai orang munafik. Sepak terjang pengusung idealisme dianggap tidak lebih dari cara untuk mencari ketenaran, memburu jabatan, atau akrobat tunggangan kekuatan politik tertentu. Penilaian ini berasal dari alam pikiran materialistik yang terlanjur mengeneralisir sebagian relita yang dilihat oleh mata.
Propaganda ketidakpercayaan terhadap idealisme bertebaran di mana-mana. "Sekarang tidak perlu lagi bicara demi bangsa dan negara, atau ingin berkontribusi bagi masyarakat, cukup bilang kamu berani bayar berapa kalau saya memimpin?", kata Sujiwo Tejo Sang Budayawan. Bahkan, gaya hidup urakan lebih diapresiasi sebagai ekspresi kejujuran sebagai manusia daripada sebagai penyimpangan terhadap norma sosial. Simbol idealisme seperti simbol keagamaan dan kesopanan sering dianggap semuanya kedok, topeng, sikap hipokrit, atau setidaknya disebut sikap hidup sok suci.
Tapi, tak jarang juga pengusung idealisme dari dulu sampai sekarang bersambut baik dengan gemuruh tepuk tangan, sorotan kamera, bahkan tembakan salvo sebagai pahlawan. Selalu akan ada apresiasi dari manusia. Selalu akan ada kekaguman para perindu nilai-nilai kepahlawanan. Tak selamanya sepi dari puji-pujian. Tapi inilah jebakannya. Inilah jebakan publik yang justru kadang menjadikan pengusung idealisme lalai dari orientasi spiritual yang merupakan nilai inti idealisme itu sendiri. Jadilah ia merasa besar. Timbullah kepuasan tidak pada tempatnya yang hakiki.
Selalu, pengusung idealisme sangat dilematis. Semua perjalanan hidupnya adalah tantangan. Tantangan kenyataan hidup, baik cemoohan ataupun pujian. Oleh sebab itu di pertengahan jalan banyak yang tertarik menjadi orang biasa. Lebih tentram, jauh dari sorotan publik yang sangat mengganggu privasinya. Lebih mudah selamat karena sedikit tekanan ataupun jebakan sanjungan.
Terlalu sepi jalan yang ditempuh pengusung idealisme karena ia harus sering memikul beban yang tidak bisa dipikul oleh banyak orang. Ia harus memberi ketika kebanyakan orang meminta. Ia harus berkorban ketika kebanyakan orang menuntut. Ia harus berlapang dada ketika kebanyakan orang salah kaprah kepadanya.
Juga terlalu jauh jalan yang ditempuh pengusung idealisme. Melintasi masa remaja sampai senja. Bahkan lebih! Jadi jarak pikul idealisme bukan sampai toga dipakai para pelajar. Bukan sampai punya tanggungan keluarga. Bukan sampai di puncak karir. Bukan pula sampai di puncak panggung kepahlawanan. Tapi sampai bertemu Tuhan Sang Pemberi ilham akan idealisme itu sendiri. "Sampai jumpa di kemenangan abadi!" kata Che Guevara.
Sekarang idealisme menjadi kata yang dianggap terlalu suci dan normatif, substansinya mustahil ada wujudnya secara sempurna, atau bahkan tid...
Memikul Idealisme
About author: Diki Saefurohman
Pribadi yang tertarik dengan dunia sains, filsafat, dan politik. Penikmat sejarah dan sastra. Sedang mendalami dunia bisnis dengan pendekatan praktis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Dalem banget kata-katanya.. Gak tahu harus ngomong apa..
BalasHapus