Manusia sebagai zoon politicon (makhluk berpolitik) tentunya tidak akan terlepas dari kehidupan politik itu sendiri. Bagaimanapun seseorang...

Ide Islam Politik*

Manusia sebagai zoon politicon (makhluk berpolitik) tentunya tidak akan terlepas dari kehidupan politik itu sendiri. Bagaimanapun seseorang berusaha menjauh dari dunia politik, kehidupannya tidak akan terlepas dari politik karena semua aspek kehidupan manusia dipengaruhi oleh proses politik. Seorang penyair Jerman, Bertolt Brecht mengatakan bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.

Debat agama dan politik dalam Islam mulai muncul di era kejatuhan Turki Utsmani. Politik sebagai ilmu juga baru muncul sekitar era tersebut. Sayangnya era tersebut adalah era merosotnya budaya literasi Islam sehingga yang mendominasi pemikiran politik –sampai sekarang- adalah pemikiran politik eropa sentris yang notabennya banyak lahir dari perjuangan melawan hegemoni gereja atas negara semasa maraknya sistem monarki absolut.

Akibat dominasi pemikiran politik eropa sentris dan realitas politik yang semakin kotor oleh perilaku para politisi dan birokrat, pemikir dan ulama muslim banyak yang merubah cara pandangnya terhadap politik. Politik yang pada masa Rasulullah sampai era kekhalifahan  Turki Utsmani digunakan sebagai sarana dakwah sekaligus di dalamnya terdapat substansi ajaran Islam –seperti masalah kepemimpinan/imamah dll- mulai dipandang sebagai hal yang sangat duniawi dan harus dijauhi oleh orang salih. “Inni tubtu minas siyasah”; “Sesungguhnya aku taubat dari politik,” kata Muhammad Abduh.


Semua ideologi menggunakan dimensi politik untuk menginternalisasi ideologinya kepada publik

Banyak sarjana muslim yang menafsir ulang dan mengkritik aspek ajaran Islam yang berkaitan dengan politik. Seperti Husen Haikal dan Ali Abdur Raziq yang menganggap teks-teks Al Qur’an dan As Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Husen Haikal berargumentasi, bahwa dalam Islam tidak terdapat suatu sistem pemerintahan yang baku. Adapun Ali Abdur Raziq menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian tidak ditemukan keinginan Rasulullah untuk mendirikan negara Islam. Tentunya penafsiran ini menunjukan kikuknya kaum muslimin menghadapi dominasi pemikiran politik yang eropa sentris tadi. Padahal sangat jelas Rasulullah ketika memasuki dakwah era madinah banyak menggunakan berbagai dimensi politik sebagai sarana implementasi ajaran Islam bahkan menetapkan beberapa dimensi politik sebagai ajaran Islam itu sendiri.

Tidak heran zaman keemasan Islam muncul berbagai teori tentang negara dan kehidupan bernegara. Di tingkat akar rumput pun berkembang teori-teori interaksi sosial politik yang kesemuanya masuk dalam pembahasan kitab-kitab fiqh. Kalau kita lihat kitab-kitab fiqh klasik seperti Al Um Imam Syafii, Al Muwatha Imam Malik, Kitabul Kharraj Imam Abu Yusuf Al Hanafi sampai kitab-kitab hadits Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad dan yang lainnya selalu memasukan beberapa aspek politik dalam pembahasannya. Paling tidak masalah kepemimpinan/imamah, kaidah damai dan perang, keadilan, musyawarah dan ekonomi politik (jizyah, pajak, dan perdagangan) selalu  dibahas dalam kitab-kitab tersebut. Mereka menyadari bahwa beberapa syariat Islam malah tidak bisa direalisasikan tanpa institusi politik, seperti hukum pidana dalam Islam.

Dari zaman ke zaman sebenarnya semua pengusung ideologi mengupayakan penguasaan pos-pos politik untuk merealisasikan ide-ide yang berkembang dalam ideologinya dan mencegah apa-apa yang bertentangan dengan ideologi tersebut. Dulu ketika kaum mu’tazilah (sekte ultra rasionalis dalam Islam) menguasai pusat Kekhilafahan Abbasiyyah di Baghdad, mereka memaksakan keyakinan-keyakinan mereka kepada para hakim negara (qadhi) dan beberapa ulama, di antaranya memaksa Imam Ahmad meyakini Al-Qur’an sebagai makhluk (ciptaan) Allah sampai menyiksa beliau karena tidak mau tunduk dan merubah keyakinan dan fatwanya bahwa Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah.

Kalau kita melihat sejarah eropa lebih kaya lagi sejarah ideologisasi melalui pos-pos politik –terutama pusat pemerintahan-. Ratu Isabella pernah memaksa kaum muslimin Andalusia (Spanyol) murtad pasca runtuhnya Kekhilafahan Umawiyyah di sana. JJ Rousseau sebagai salah satu peletak dasar revolusi Perancis pernah menggelontorkan ide agama ‘madani’ -keberagamaan yang mengedepankan nilai universal dari agama-agama yang ada dan mengesampingkan aspek-aspek khusus setiap agama dari ruang publik- sebagai konsep agama yang paling ideal untuk diekspresikan dalam kehidupan bernegara yang bersifat sekular. Hitler, Musollini dan Hirohito menggunakan negara untuk mendoktrin publik meyakini dan memperjuangkan ide-ide fasis mereka. Begitupula Adam Smith dan Karl Marx menancapkan konsep ekonomi dan kehidupan sosial politik mereka masing-masing melalui upaya penguasaan negara.

Dulu ideologisasi melalui pos-pos politik cenderung represif dan melahirkan penderitaan berkepanjangan bagi orang-orang yang melawannya. Sekarang nampaknya ideologisasi cenderung menggunakan media-media yang dikuasai pemerintah dan para pemilik modal. Social media yang merupakan second opinion nampaknya belum bisa sepenuhnya mengimbangi media mainstream yang dikuasai pemerintah dan pemilik modal. Manufacturing content –sebagai plesetan “manufacturing consent” nya Noam Chomsky- dalam media masih banyak digunakan sebagai alat ideologisasi yang paling utama.

Kekuasaan dan strategi Rasulullah dalam membangun basis sosial dan teritorial di Madinah

Miriam Budiarjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan para pelaku. Mengacu pada pemahaman tersebut, maka kekuasaan adalah dimensi politik yang paling utama. Tidak heran jika Rasulullah disebut sebagai politisi unggul karena sangat lihai mempengaruhi perilaku orang lain.

Kita lihat ketika Rasulullah tiba di Madinah, begitu banyak langkah revolusioner untuk membangun basis sosial dan teritorial dalam mengembangkan dakwah Islam. Membangun masjid sebagai pusat ibadah dan tempat merumuskan kebijakan, mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar, membuat kesepakatan antara kaum muslimin, kaum yahudi dan penduduk madinah non muslim lainnya yang menghasilkan piagam madinah, membangun pasar dan membangun angkatan militer. Setidaknya langkah-langkah Rasulullah itu mampu menjadi batu loncatan untuk menahan tiga kali gempuran kaum kafir Quraisy Mekah dan aliansinya yang ingin melenyapkan eksistensi Islam.

Setelah perjanjian Hudaibiyah Rasulullah mengirim surat ke berbagai raja untuk mengajak kepada Islam. Tidak lama setelah itu terjati Fathu Makkah dan ekspansi ke daerah-daerah Romawi dan Persia. Kekuasaan digunakan oleh Rasulullah secara efektif dalam berdakwah.

Akan tetapi tentunya sejarah itu tidak untuk diambil pelajarannya secara tekstual sehingga menyebabkan kita percaya ada era Mekah dan Madinah dalam dakwah seperti dulu orang-orang DI/TII meyakininya. Pelajaran dakwah melalui dimensi politik berupa kekuasaan harus dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang. Apalagi di negara damai tanpa peperangan tidak perlu ada susana ekspansi perang dalam dakwah.

*Artikel ini dimuat dalam portal www.selasar.com , dapat dibuka pada link berikut https://www.selasar.com/politik/ide-islam-politik

0 komentar: