Skeptis atau meragukan sesuatu merupakan batu loncatan untuk banyak hal, diantaranya sikap kritis dan dialektika ide atau gagasan. Dulu, para filsuf biasanya menggunakan istilah membersihkan puing-puing filsafat untuk memulai bangunan filsafatnya sendiri. Maksudnya, meragukan semua pemikiran yang sudah ada dan memulai pemikirannya sendiri tentang sesuatu. Maka, skeptis inilah yang melahirkan banyak isme dalam filsafat sekaligus mengilhami lahirnya sains klasik maupun modern.
Dalam tulisan ini saya ingin mengulas pemikiran menarik yang lahir dari sikap skeptis kemudian pemikiran tersebut melahirkan sikap skeptis lagi yaitu rasionalisme dan empirisme. Keduanya menarik terutama dalam kaitannya dengan eksistensi Tuhan.
Dulu sekali, Plato mengajarkan akan adanya alam ide. Katanya, semua realitas material hanyalah cetakan ide-ide. Rasanya pantas Plato disebut sebagai bapak idealisme. Gagasan ini juga yang banyak digunakan untuk mendukung pembenaran alam gaib dalam ajaran agama oleh para teolog. Aristoteles sebagai murid Plato memang banyak berbeda pandangan dengan gurunya akan banyak hal, tapi tentang ketuhanan nampaknya ia mengamini alam ide ala Plato. Baginya masuk akal Tuhan itu ada, kemudian ia buktikan dengan bangunan filsafat rasionalismenya. Ini pula yang dipakai Thomas Aquinas untuk membela ajaran gereja dari serangan para pembuat ‘bid’ah’ di jamannya.
Rasional atau masuk akal Tuhan itu ada. Teori evolusi banyak diragukan oleh para ilmuan, walaupun tidak sedikit juga ilmuan yang meyakini dan membelanya. Alam molekul yang sangat kompleks sulit diterima akal jika dianggap hanya sebagai produk evolusi yang dulunya –dulu sekali- awalnya hanya sebagai hasil ‘ketidaksengajaan alam’ membentuk molekul organik. Alam raya yang kelihatannya chaos pun menurut para astronom hakikatnya sangat ‘ritmis’ susunan dan gerakannya. Jadi sangat irrasional itu semua tanpa campur tangan Tuhan.
Tapi masalah keimanan terhadap Tuhan mulai digoncang lagi ketika George Berkeley memperkenalkan empirisme yang mengilhami sains modern. Rasional saja tidak cukup, karena dalam dialektika idealisme, rasional bisa dilawan dengan hal yang sama rasionalnya. Tuhan ada itu rasional, tapi Tuhan tidak ada pun rasional. Jika campur tangan Tuhan dikonversi menjadi hukum alam (terutama hukum-hukum fisika dan kimia) maka Tuhan akan hilang, itupun rasional. Empirisme kemudian datang menghakimi perdebatan tersebut. Siapa yang ingin menang dalam perdebatan, dia harus membuktikannya! Itulah hukum empirisme.
Masalah muncul ketika yang dibuktikan itu memang sulit dibuktikan. Issac Newton membuktikan gravitasi bumi hanya dengan menjatuhkan apel. Sangat mudah sekali. Michael Faraday cukup sulit juga ketika ia membuktikan perubahan medan magnet menghasilkan medan listrik dengan kumparan kabelnya. Kemudian Rutherford jauh lebih sulit lagi, ia harus membuktikan adanya nukleus di dalam atom, maka ia pakai perlatan rumit yang dapat menghamburkan sinar alpha. Sekarang, bagaimana membuktikan Tuhan secara empiris? Tidak bisa. Atau, belum bisa?
Masalahnya, sesuatu yang tidak bisa, atau lebih tepatnya belum bisa dibuktikan bukan berati sesuatu itu tidak ada atau salah. Seperti halnya M-Theory nya Stephen Hawking, belum bisa dibuktikan tapi belum tentu salah. Dari sinilah muncul sikap skeptis gaya baru dalam masalah ketuhanan, yaitu agnostik. Agnostik itu ‘tidak tahu’. Jika ditanya, apakah Tuhan itu ada? Jawabannya tidak tahu, karena belum tentu ada dan belum tentu tidak ada. Demikian jawab penganut agnotisisme. Banyak saintis tertarik dengan ‘keberimanan’ semacam ini. Maka muncul lah kreasi ‘keimanan gaya baru’. Ada agnostik yang tidak percaya kepada semua agama tapi hanya percaya kepada Tuhan. Ada yang lebih unik lagi, percaya kepada Tuhan ‘impersonal’, Tuhan sebagai ‘hukum alam’, bukan sebagai entitas atau wujud yang dikenalkan oleh agama-agama manusia.
Inilah dunia skeptis. Dunia yang penuh keraguan. Jika diperluas ke kehidupan sehari-hari, sikap skpetis ini bisa menjadi sangat berlebihan. Sampai-sampai tidak ada yang tersisa dalam alam pikiran manusia kecuali keraguan terhadap segala sesuatu. Saya terkadang membayangkan, masyarakat tidak percaya lagi kepada pemerintah karena sikap skeptis yang berlebihan. Murid tidak percaya lagi kepada guru karena sikap skeptis yang berlebihan. Anak tidak percaya lagi kepada orang tua karena sikap skeptis yang berlebihan.
Skeptis melahirkan konsep keyakinan yang melahirkan sikap skeptis lagi. Itulah lingkaran setan. Saya kira lingkaran itu harus dipotong oleh keberanian kita mengambil keputusan ‘konsep keyakinan’ yang mana yang kita imani. Lingkaran setan itu selalu ada dalam pikiran kita karena kita tidak berani mengambil keputusan. Jadi kita tidak perlu selalu berlama-lama berjalan di lereng filsafat melihat jurang-jurang juga puncak gunung. Kita harus segera mengambil keputusan untuk terjun ke dalam jurang-jurang yang ada atau naik ke puncak gunung sebelum ajal menjemput. Adapun saya sudah mengambil keputusan, saya akan naik ke puncak gunung. Bagi saya, puncak gunung itu adalah ajaran agama yang saya anut.
*Artikel ini dimuat dalam portal www.selasar.com , dapat dibuka pada link berikut https://www.selasar.com/budaya/dunia-skeptis
Skeptis atau meragukan sesuatu merupakan batu loncatan untuk banyak hal, diantaranya sikap kritis dan dialektika ide atau gagasan. Dulu, par...
Dunia Skeptis*
About author: Diki Saefurohman
Pribadi yang tertarik dengan dunia sains, filsafat, dan politik. Penikmat sejarah dan sastra. Sedang mendalami dunia bisnis dengan pendekatan praktis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: