Mazhab mu’tazilah sebagai mazhab aqidah ultra rasionalis dalam Islam nampaknya perlu merevisi pendapatnya yang menyatakan bahwa akal dapat mengetahui hukum dan kebenaran dari Allah tanpa perantara Rasul dan Kitab-Nya. Dalam buku The God Delusion, sang penulis, Richard Dawkins cukup berhasil membuktikan secara rasional bahwa hampir pasti tidak ada Tuhan dan ateis bisa bahagia, seimbang, bermoral, dan terpenuhi secara intelektual. Tentunya ini menjadi sangkalan empirik terhadap pendapat kaum mu’tazilah ataupun neo-mu’tazilah yang terlampau batas mendewakan akal dalam menalar baik-buruk dalam perspektif Islam.
Teisme atau kepercayaan terhadap adanya Tuhan yang merupakan asas dalam Islam (La Ilaha Illallah) diruntuhkan begitu saja oleh akal. Jadi saya kira perlu porsi besar teks dalil dari Al-Qur’an untuk menjadi patokan mencari kebenaran dalam menjalani hidup sebagaimana diyakini mazhab asy’ariyyah. Walau demikian, akal tetap bisa menentukan kebenaran walau kadang keliru karena menyelisihi Al-Qur’an sebagaimana diyakini mazhab maturidiyyah.
Akhir Ramadhan merupakan kesempatan yang sangat berharga untuk memulai atau kembali (jika yang sudah memulai) menjadikan Al-Qur’an sebagai acuan hidup. Pada era modernisme yang sekarang masuk era post-modernisme, isi benak manusia terlalu banyak didominasi dimensi akal dan intuisi dalam bertindak dan bersikap. Doxa (paradigma umum) yang materialis menjadi acuan bagaimana cara kita hidup. Ini fenomena kegagalan pendidikan agama yang hanya diberikan dua jam setiap pekan saat sekolah dasar dan menengah. Jadi, akhir Ramadhan perlu sekali dimanfaatkan untuk setback pikiran dan jiwa dengan Al-Qur’an sebagai titik tolak.
Akhir Ramadhan merupakan waktu yang tepat untuk memulai kembali pendalaman terhadap Al-Qur’an. Saatnya menanggalkan kesombongan intelektual. Yang belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, apapun tingkat pendidikannya, maka mulailah belajar membacanya. Yang sudah bisa membaca dengan baik, maka mulailah mengakses substansinya dengan membaca terjemahnya. Atau juga tafsirnya karena terjemah tidak pernah mampu mewakili substansi bahasa asli secara sempurna. Yang sudah mencapai keduanya maka ulangilah pendalaman-pendalaman yang pernah dilakukan terhadap Al-Qur’an agar pengamalan terhadapnya bertambah kuantitas dan kualitasnya.
Bacalah Al-Qur’an dengan sebenar-benar bacaan (haqqo tilawah) karena itu tanda keimanan kita terhadapnya (QS. 2:121). Begitu membaca dan mengakses isinya akan nampaklah kekeliruan kita berpikir dan bertindak. Terus dan terus riview. Jadi, sebelum berdecak kagum terhadap fenomena materi dan isme-isme di seluruh penjuru dunia, sempatkanlah menikmati Al-Qur’an. “Hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah nikmat, nikmat yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang merasakannya”, kata Sayyid Qutb.
Jika kesempatan akhir Ramadhan ini kita lewatkan, saya khawatir kita tidak akan mendapatkan kembali turning moment ini. Pasca Ramadhan kita akan dihadapkan kembali kepada riuh rendah irama kehidupan yang diawali selebrasi hari kemenangan semu. Kita keburu terbiasa lagi menyimpan rapi Al-Qur’an di etalase tanpa membacanya, atau membacanya hanya di waktu sempat. Kita tidak sempat meloncat dari batu loncatan yang tepat.
Paling tidak, jika kita memulai interaksi yang dekat dengan Al-Qur’an pada akhir Ramadhan, berati kita telah memulai perubahan dalam pikiran dan jiwa kita. Kita setelah Ramadhan bukan lagi kita yang sebelum Ramadhan. Pikiran dan jiwa kita sudah bergerak menuju substansi Al-Qur’an. Ini yang dikatakan oleh Mulla Sadra sebagai alharokah aljauhariyyah, pergerakan esensi kepribadian.
Mazhab mu’tazilah sebagai mazhab aqidah ultra rasionalis dalam Islam nampaknya perlu merevisi pendapatnya yang menyatakan bahwa akal dapat m...
Al-Qur’an, Akhir Ramadhan, dan Pergerakan Esensi Kepribadian
About author: Diki Saefurohman
Pribadi yang tertarik dengan dunia sains, filsafat, dan politik. Penikmat sejarah dan sastra. Sedang mendalami dunia bisnis dengan pendekatan praktis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: