Sejarah kelam kehutanan Indonesia yang cukup panjang nampaknya tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia sendiri. Misalnya saja catatan kebakaran hutan tahun 1915-2006 menginformasikan bahwa hutan dengan luas total 27,36 juta hektar telah habis terbakar selama rentang masa tersebut. Artinya selama itu kita telah kehilangan hutan seluas 54,72 juta kali lapangan sepak bola. Perlu diketahui, kebakaran yang dimaksud di sini adalah kebakaran yang sah secara hukum yang dianggap kebakaran liar.
Hal yang tidak kalah suram adalah masalah penebangan kayu yang berlebihan (over-cutting) yang sebagian terbesar dilakukan tanpa izin (illegal logging) sudah menjadi isu klasik yang berulang-ulang. Banyak faktor yang melatarbelakangi over-cutting ini, di antaranya pembalakan kayu melalui izin resmi Rencana Kerja Tahunan (RKT) seringkali melampaui kemampuan potensi lestari hutan dan terjadinya perdagangan gelap dokumen peredaran kayu yang sempat marak pada tahun 2001-an melalui perizinan tebangan masyarakat dalam bentuk Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) seratus hektaran di banyak kabupaten. Salah satu dampak over-cutting pada masa sekarang yaitu minimnya bahan baku berupa kayu yang berkualitas tinggi. Indonesia yang kita anggap memiliki pasokan kayu yang sangat banyak disinyalir kekurangan stok log untuk kayu lapis karena semakin kecilnya diameter pohon dari hutan alam.
Terkait dengan kebijakan pemerintah, dunia kehutanan sempat menjadi pelampiasan jalan buntu pembangunan ekonomi di beberapa daerah. Perubahan politik penyelenggaraan negara berkaitan dengan otonomi daerah mulai tahun 2001 yang tidak dipersiapkan secara memadai menyebabkan hutan dijadikan sasaran pendapatan daerah serta mengalami penjarahan yang sulit dihentikan. Penjarahan yang dimaksud berupa penjarahan secara primitif, yaitu dengan over-cutting dan juga berupa pemberian ijin kepada pihak swasta dalam mengeksploitasi areal hutan untuk berbagai jenis usaha.
Nampaknya keresahan akan realita ini belum muncul ke permukaan. Entah karena dampak negatif dari berbagai isu di atas belum dirasakan secara merata oleh masyarakat Indonesia? Atau kita harus menunggu sampai sungai terakhir kering dan pohon terakhir tumbang? Lantas ke mana foresters? Pertanyaan ini muncul karena belum ada berita besar akan dunia kehutanan yang semakin cerah, padahal ribuan sarjana kehutanan telah dialumnikan oleh berbagai kampus di Indonesia.
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan di atas, akan tetapi setidaknya dua fenomena berikut dapat kita sepakati sebagai penyebabnya : Pertama, fenomena penyimpangan forester dari komitmen moral untuk memperbaiki sektor kehutanan. Kedua, fenomena pelarian forester dari tanggung jawab moral akan kontinuitas kontribusi pada sektor kehutanan.
Fenomena pertama di antaranya berupa kasus korupsi pada sektor kehutanan. Kabar terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani sedikitnya enam kasus korupsi di sektor kehutanan. Tercatat, 21 aktor korupsi telah diproses KPK, diadili dan divonis oleh Pengadilan Tipikor, serta telah dipenjara di lembaga permasyarakatan. Aktor ini terdiri dari 13 orang dari lingkungan pemerintah daerah, enam orang politikus, dan dua orang dari pihak swasta. (jaringnews.com 12/04/2012)
Adapun fenomena kedua sebenarnya sudah menjadi wacana umum keprofesian, dimana terkadang para sarjana tidak bekerja sesuai core-competence yang ia dapatkan di bangku kuliah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sarjana kehutanan yang tidak bekerja di sektor kehutanan. Sebenarnya fenomena ini bisa mengisyaratkan akan kurangnya kapasitas keprofesian yang dibangun oleh personal mahasiswa di kampusnya di samping ada kendala mencari lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas keprofesian yang dimiliki.
Jika kedua fenomena tadi menggambarkan keadaan foresters secara umum, kepada siapa lagi kita berharap untuk memperbaiki dunia kehutanan? Menyadari keadaan ini, para dosen kehutanan ada yang sudah mencabut harapannya dari manusia. Salah satu pakar ekonomi kehutanan IPB, Ir. Bintang C. H. Simangunsong MS., Ph.D. pernah menyampaikan keluh kesahnya di hadapan saya dan teman-teman sekelas saya bahwa tidak mungkin lagi kita berharap kepada para pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memperbaiki sektor kehutanan. Menurut beliau sudah saatnya kita hanya berharap kepada Tuhan untuk membangkitkan people power untuk reformasi kehutanan.
Sudahkah kita semua ikut resah akan realita dunia kehutanan di negeri kita ini?
Sejarah kelam kehutanan Indonesia yang cukup panjang nampaknya tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia sendiri. Misalnya saja catat...
Keresahan akan Keadaan Sektor Kehutanan Kita
About author: Diki Saefurohman
Pribadi yang tertarik dengan dunia sains, filsafat, dan politik. Penikmat sejarah dan sastra. Sedang mendalami dunia bisnis dengan pendekatan praktis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: