Filsafat sebagai induk segala ilmu menjadi istilah yang pembahasannya dianggap sulit dipahami oleh kebanyakan orang, sekaligus sesuatu yang ...


Filsafat sebagai induk segala ilmu menjadi istilah yang pembahasannya dianggap sulit dipahami oleh kebanyakan orang, sekaligus sesuatu yang ditakuti oleh beberapa kelompok keagamaan konservatif karena cenderung bernuansa liberal; menabrak batas-batas doktrin keagamaan. Saya tidak terlalu memahami kenapa filsafat ter-stigma begitu. Mungkin karena secara faktual memang filsafat terlalu njelimet dan terlalu jauh pembahasannya dari persoalan praktis sehari-hari. Mungkin juga ada faktor lain, misalkan secara historis (khususnya dalam tradisi Islam) filsafat pernah diserang habis-habisan oleh kalangan ulama fikih dan tasawuf (khusunya Imam Ghazali) sehingga perkembangan filsafat dalam tradisi Islam mengalami stagnansi bahkan kemerosotan.


Saya termasuk yang mencoba memahami filsafat, khususnya yang datang dari tradisi 'Barat' dan 'Islam'. Bukan karena kepentingan akademis, alih-alih hanya karena saya tertarik kepada pemikiran-pemikiran filosofis sejak kecil. Walaupun masa kecil saya tumbuh di lingkungan tradisional Islam, bahkan almarhum kakek saya adalah Kyai konservatif yang mengharamkan pengeras suara di masjid, untungnya saya sempat membaca buku Falsafah Hidup karya Buya Hamka. Buku tersebut menjadikan saya lebih rileks dalam memahami dinamika kritik bahkan kecaman tradisi fikih dan tasawuf terhadap filsafat.


Seiring bertambahnya usia, hobi menyempatkan membaca buku-buku yang bertemakan filsafat menjadi kebutuhan tersendiri, terutama dalam memaknai hidup dan menghadapi masalah-masalah manusia (human problem), baik yang dialami diri sendiri maupun orang lain pada umumnya. Saya ingat, sewaktu kuliah rasanya bersemangat sekali membaca pikiran-pikiran 'kiri' karena alam kebatinan saya sedang bergairah sebagai aktifis kampus yang sehari-harinya hampir selalu berkutat dengan isu-isu sosial politik yang bernuansa perlawanan terhadap dominasi dan penindasan kekuatan politik yang sangat kapitalistik. Adapun setelah lulus kuliah lebih banyak membaca tema filsafat yang berkutat pada persoalan epistemologi (cabang filsafat yang berkaitan dengan teori pengetahuan) dan filsafat hikmah (salah satu cabang filsafat Islam yang menggabungkan aliran rasional dan mistisme dalam traidisi Islam).


Sempat saya berpikir (sampai sekarang), karena saya membaca buku filsafat hanya karena hobi yang bertemu dengan kebutuhan faktual saya sehari-hari, maka saya memahami filsafat secara pragmatis. Saya mencoba memahami filsafat terkait kebutuhan saya akan filsafat sebagai pisau bedah memahami human problem agar dapat dipecahkan akar masalahnya, minimal dalam diri sendiri tidak ada kegamangan dalam menghadapinya dan memiliki posisi yang jelas dalam bersikap terhadap problem tersebut. Misalkan, dalam keseharian saya memiliki kepentingan dalam melawan dominasi pandangan bahwa metode ilmiah (khusunya positivisme) adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran sampai-sampai sesuatu yang dilabeli saintifik / bersifat ilmiah tidak bisa dibantah dan dianggap kebenaran tertinggi. Maka, saya memahami kelemahan klaim sekaligus asumsi tersebut dengan membaca pemikiran 'anarkisme epistemologis' yang diperkenalkan oleh Paul Feyerabend. Dalam hal ini saya memiliki kepentingan untuk melawan represi kebenaran metode ilmiah terhadap kebenaran metode-metode yang lain.


Atas dasar pragmatisme tadi, tentu dengan membaca pemikiran-pemikiran filsafat tidak menjadikan saya seorang liberal yang lepas dari kehidupan keagamaan tradisional saya. Saya kira, bersikap pragmatis dalam membaca pemikiran-pemikiran filosofis menjadi alternatif tersendiri dalam upaya kita memaknai filsafat. Saya berpandangan, filsafat termasuk ilmu yang tidak ada bedanya dengan ilmu-ilmu lain yang kita terima di sekolah. Ia bisa menjadi pisau yang digunakan untuk melukai, maupun untuk memotong sayuran ketika memasak. Dengan pandangan ini mudah-mudahan kita bisa menjadi lebih rileks dalam berpapasan dengan hal-hal yang berbau filsafat. Syukur-syukur mau mencicipinya agar tidak salah menilai rasanya (filsafat).


Sepekan saya selesaikan buku yang ditulis kolega saya, Prof. Kana Suryadilaga, berjudul The Balance Ways; Jalan Keseimbangan untuk Kemul...


Sepekan saya selesaikan buku yang ditulis kolega saya, Prof. Kana Suryadilaga, berjudul The Balance Ways; Jalan Keseimbangan untuk Kemuliaan Hidup Menuju Kesuksesan dan Kebahagiaan dengan MAPP to RICH Model. Awalnya saya mendapatkan buku ini karena menguji metodologi Instruktur Kompetensi yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Sakasakti, LSP bidang Pelatihan. Kebetulan Prof. Kana –panggilan yang biasa saya gunakan untuk Penulis- menjadi salah satu asesi, sehingga beliau melampirkan Portofolionya sebagai bukti kompetensi. Tak disangka beliau melampirkan buku yang ditulis olehnya juga.
Sekilas saya langsung tertarik, dan berniat membaca setelah asesmen (uji kompetensi) selesai. Kebetulan sudah lama saya tak membaca buku-buku tentang konsep hidup, motivasi dan sejenisnya.
Saya rasakan buku ini mencerminkan pengalaman hidup dan nuansa kebatinan penulisnya. Saya teringat novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, begitu mengalir dan sangat terasa spirit dan kesan hidup penulisnya. Begitu pula buku The Balance Ways ini. Dari segi bahasa sangat mengalir. Walau bagi saya banyak kutipan ayat, pepatah, cerita fiksi, dan cuplikan biografi yang tidak asing karena ada di buku-buku yang pernah saya baca sebelumnya, tapi tetap saja Penulis mampu menyusunnya dengan alur yang sangat baik sesuai poin-poin buku yang sedang dibincang, sehingga pengulangan hal-hal tersebut menjadi pelepas dahaga intelektual dan spiritual. Hemat saya, isi buku ini adalah perpaduan sari yang diperas dari pengalaman hidup, baik yang bersifat emosional maupun spiritual, dengan justifikasi-justifikasi teoritis yang didapat dari buku-buku yang dibaca oleh Penulis. Sehingga, The Balance Ways menjadi buku yang tidak hanya berlaur dengan baik, tetapi juga memiliki isi yang bergizi bagi minda dan jiwa pembaca.
Bagi yang belum membaca, saya ingin berbagi sekilas konsep yang ada di buku ini. Penulis mengawali buku ini dengan menyodorkan hakikat hidup sebagai suatu eksistensi (keberadaan), gerak, dan esensi (makna). Dengan spirit religiusitas penulis menolak konsep nihilis yang menolak adanya makna. Singkatnya, Penulis memaknai hidup merupakan perjalanan menuju Tuhan. Tetapi bukan perjalanan seorang ahli ibadah yang melupakan dunia. Lebih dari itu, Penulis memandang perjalanan menuju Tuhan yang lebih powerfull, yaitu tanpa meniadakan keharusan sukses secara duniawi. Sehingga, perlu ada suatu jalan yang seimbang: the balance ways.
Penulis menawarkan model the balance ways yang dimaksud dengan metode sebagai berikut:
1.      Maximize Action (Berusaha Maksimal)
2.      Planning (Perencanaan yang matang)
3.      Pro Poor (Dekatkan diri kepada orang-orang yang kekurangan)
4.      Ridha (Hadapi segala sesuatu dengan ridha)
5.      IChlas (Berikan segala sesuatu dengan ikhlas)
6.      Heart voice (Dengar hati nurani)
Keenam metode tersebut Penulis rangkum dalam akronim MAPP to RICH.
Saya pribadi, lebih tertarik untuk lebih fokus membaca di bagian pembahasan Planning. Karena ini merupakan bagian yang paling praktis. Sangat terlihat, Penulis mengadopsi beberapa teori dan tools manajemen dengan baik. Diantaranya, Penulis menggunakan tools MHMMD (Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan) yang dikembangkan oleh Marwah Daud Ibrahim dalam membuat Rencana Spesifik meraih cita-cita. Kebetulan saya pernah mengikuti pelatihannya ketika masih kuliah S1.
Hal menarik lainnya, Penulis berusaha mengambil dan menyampaikan nilai (value) se-universal mungkin, sehingga Penulis terbuka terhadap nilai yang bisa diambil dari cuplikan kisah orang atau tokoh dengan berbagai macam latar belakang sosial budaya. Juga dari karakter fiktif, misalnya saya jadi mendapat pelajaran adaptasi terhadap perubahan dari sepasang tikus dalam labirin yang tetap siap siaga menghadapi kelangkaan keju (kisah yang diadaptasi oleh Penulis dari buku Spencer Johnson yang berjudul Who Moved My Cheese?).
Terakhir, Penulis menyampaikan keterusterangannya bahwa metode MAPP to RICH merupakan aplikasi dari penggabungan konsep Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Dengan Maximize Action dan Planning artinya sudah memaksimalkan IQ. Pro Poor adalah kendaraan untuk merambah ke wilayah EQ. Ridha, IChlas, dan Heart voice merupakan manifestasi dari SQ.
Saya ingin menutup ulas buku kali ini dengan mengutip kalimat Penulis di akhir bukunya: “Jika kita menjalani hidup dengan benar, yaitu mengerjakan metode MAPP to RICH dengan baik dan seimbang, saya berani menjamin, Insya Allah hidup Anda akan jauh lebih baik.”

Judul  : The Balance Ways; Jalan Keseimbangan untuk Kemuliaan Hidup Menuju Kesuksesan dan Kebahagiaan dengan MAPP to RICH Model
Penulis  : M. K. Suryadilaga
Editor    : Adussalam
Tebal      : xxii + 246 hlm
Penerbit : QLM Publishing

Era keterbukaan informasi menjadikan arus informasi yang diterima individu sangat deras. Mungkin ini yang menyebabkan banyak orang sekar...


Era keterbukaan informasi menjadikan arus informasi yang diterima individu sangat deras. Mungkin ini yang menyebabkan banyak orang sekarang merasa cukup untuk menjadikan arus informasi yang diterimanya, terutama melalui media sosial sebagai bahan pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian berusaha mendominasi pembicaraan yang lain dengan hanya berbekal informasi dari media sosial tersebut, baik berupa broadcast whatsapp, twit selebtwit, post instagram, judul berita, sebagian isi berita yang tidak kredibel, dan lain sebagainya yang serba instan.

Segi positifnya, masyarakat menjadi cukup dinamis berdialog tentang isu-isu terkini – walaupun sebenarnya isu itu merupakan produk dari issue maker – dengan sangat intens. Artinya ada kesadaran publik untuk merespon, terutama isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah secara tematik. Ini yang memang salah satu yang diharapkan di alam demokrasi: keterlibatan publik membicarakan kebijakan pemerintah.

Akan tetapi, karena bahan pembicaraan mayoritas adalah dari sumber yang bersifat instan, dan tidak komprehensif (terutama media sosial), maka pembicaraan tidak konseptual dan mendestruksi kohesi sosial karena lebih banyak menimbulkan konflik daripada solusi bersama. Pembicaraan lebih bersifat debat, alih-alih diskusi yang bermanfaat untuk menyatukan pikiran.

Saya melihat, dalam hal ini budaya banyak membaca dan menahan banyak berbicara menjadi hal yang sangat mendesak untuk menyelamatkan masyarakat dari disintegrasi sosial dan kesalahan berpikir yang merajalela, terutama dengan meningkatnya arus info yang tidak akurat, parsial, dan sudah ter-framing (terbingkai untuk membenarkan pendapat maupun sudut pandang tertentu) dalam saluran-saluran media sosial. Banyak membaca yang saya maksud, terutama adalah banyak membaca buku, bukan potongan-potongan tulisan, artikel singkat, broadcast whatsapp, ataupun tulisan-tulisan yang terlalu pendek untuk bisa disebut sebagai sumber argumen yang berbobot dan komprehensif.

Kenapa kita perlu banyak membaca? Saya ingin mengemukaan sedikitnya lima hal berikut:

1. Membuat otak terbiasa berpikir sistematis
Buku pada umumnya bersifat sistematis. Sekalipun buku yang merupakan kumpulan tulisan, biasanya sudah disusun agar berpola ataupun beralur. Hal ini mendorong otak kita yang membacanya ikut terbiasa dengan pola tersebut. Dengan terbiasa dan banyak membaca buku, pikiran akan terlatih untuk berpikir runut, tersistem, tidak rancu.
Dalam keseharian kita, dengan terbiasa membaca buku menjadikan kita mampu merespon isu dengan pendekatan sistemik. Jika tidak terbiasa berpikir sistemik, maka kita akan terjebak dengan pola one problem one solution, satu masalah satu solusi, ini menjadikan solusi yang dibuat bersifat tambal sulam dan tidak siap dengan masalah yang muncul kemudian. Kemudian terbiasa dengan penyederhaan masalah, simplifikasi. Saya sering mendengarkan pendapat di masayarakat bahwa solusi korupsi adalah hukuman mati untuk koruptor. Just it. Tidak ada elaborasinya, apalagi berbicara landasan filosofis dan yuridisnya. 

2. Buku merupakan sumber yang cukup komprehensif untuk membincang tema tertentu
Dalam sebuah buku biasanya pembahasan cukup bisa dikatakan lengkap dibandingkan artikel-artikel apalagi hanya potongan pernyataan dalam postingan media sosial. Pembaca buku yang baik akan terbiasa melihat area permasalahan yang dibincang dengan cukup luas. Dan berusaha terhindar dari kebiasaan buruk cherry picking, jenis kesalahan berpikir yang hanya mengambil data dan fakta yang mendukung opininya saja, sisanya diabaikan. 
Dalam membaca buku kita dilatih menerima argumen tanpa dipotong-potong. Artinya, kita siap menggunakannya untuk bahan pembicaraan yang tidak parsial dan setengah-setengah.

3. Membuat diri bersabar memilah dan menyerap kebenaran
Membaca buku mendorong kita memikirkan secara perlahan informasi yang diterima dan tidak terburu-buru menyimpulkan suatu permasalahan. Dalam pembicaraan masalah publik, kita kadang terjebak dalam sikap reaktif. Langsung merespon dengan emosional fenomena ataupun pendapat yang tidak sesuai dengan pandangan kita. Padahal boleh jadi informasi yang kita terima belum utuh, atau di balik informasi tersebut ada argumentasi yang sebenernya jika dikemukakan kepada kita, kita juga akan menerimanya.
Saya kadang membaca buku yang menurut saya membosankan dan sudah bisa ditebak inti isinya apa. Tapi dengan memaksa diri membaca buku tersebut, tetap saja saya dapatkan manfaatnya berupa pengetahuan-pengetahuan sederhana yang kadang saya luput dari pengetahuan tersebut, padahal bermanfaat untuk refleksi diri.

4. Menjadikan otak terbiasa menggunakan multi perspektif dalam berpikir
Isi kepala tiap penulis buku tentu berbeda-beda. Pandangan mereka dalam satu hal yang sama pun berbeda-beda. Dengan membaca buku, alam pikiran kita lebih indah. Kaya akan warna karena multi perspektif. Saya pernah membaca buku penciptaan dan akhir alam raya dari perspektif teori fisika kosmos. Tentu sangat materialis, tidak menegaskan esksistensi Tuhan di sana. Tetapi saya menjadi paham bagaimana ragam pemikiran itu menjadi ada. Dan saya tidak akan kaget jika nanti di ruang publik ada orang-orang yang membahas hal-hal seperti itu karena perspektif mereka sudah saya pahami sebelumnya. Jika saya memiliki argumentasi yang kontradiktif dengan mereka tentu saya sudah cukup mampu memulai dari mana membantah argumentasi-argumentasi mereka.
Multi perspektif ini juga yang membuat kita lebih luwes bergaul dan mencoba toleran terhadap perbedaan pikiran tanpa terjebak ke dalam sikap membenarkan semua pikiran atau bersikap permisif (serba membolehkan) terhadap semua hal.

5. Mengasah bahasa dengan berbagai macam gaya bahasa, dan ini membantu memahami informasi dari orang lain lebih mendalam
Suatu saat saya membaca buku tentang konsep hidup sekaligus motivasi yang menurut saya bahasnya terlalu sederhana, dan terlalu datar. Tidak ada kata-kata yang cukup bertenaga – kebetulan saya lebih suka bahasa sastra dalam hal-hal yang bersifat motivasi -. Tetapi setelah saya membaca semua isinya, ada sisi lain yang saya tangkap selain isi buku itu. Saya tiba-tiba berpikir bahwa upaya orang menyampaikan pesan dan kesannya kepada orang lain sangat variatif. Kita sebagai pembaca perlu menerima ini agar nilai yang ingin disampaikan penulis dapat kita tangkap. 

Sama halnya dalam pembicaraan publik. Kadang informasi dari orang lain tidak mampu kita telaah dengan sempurna karena kita cenderung menerima bahasa yang sesuai dengan rasa bahasa yang kita sukai saja. Jika kita terbiasa membaca buku dengan beragam gaya bahasa, tentunya akan melatih kita untuk mampu menalaah informasi dari orang lain walaupun bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan gaya bahasa yang kita sukai.

Dengan budaya membaca buku yang lebih baik, saya yakin kohesi sosial akan terjaga, walau bagaimanapun bising dan kerasnya perdebatan dalam ruang publik. Karena pembaca buku biasanya lebih siap untuk berbeda pendapat. Catatannya, jangan ekslusif dalam membaca buku, yaitu hanya membaca buku yang dianggapnya benar, padahal belum mencoba membaca buku yang dianggapnya salah!

Judul         : Kebangkitan Pos-Islamisme, Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu Penulis      : Ahmad Dzakirin E...


Judul         : Kebangkitan Pos-Islamisme, Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu
Penulis      : Ahmad Dzakirin
Editor        : Ali Ghufron
Tebal          : xxiv + 376 hlm, 21 cm
Penerbit    : PT ERA ADICITRA INTERMEDIA

Perkembangan Islam dan politik di Turki menjadi fenomena yang sangat menarik akhir-akhir ini. Keberhasilan kelompok Islam untuk memengaruhi proses politik nasional setelah mewujud dalam partai politik yang dominan perlu mendapatkan perhatian khusus. Bukan saja karena kehadiran para aktivis Islam yang tergabung dalam AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) ini mampu mengurai persoalan pelik hubungan Islam dan negara, tetapi lebih dari itu, proses panjang gerakan Islam mampu masuk dalam mainstream politik Turki dengan ideologi sekuler paling kuat didunia ini juga patut menjadi bahan diskusi. Dibalik kesuksesan AKP dalam meraih dukungan politik yang kuat di Turki tentu memiliki banyak faktor yang saling berkaitan.

Buku yang ditulis oleh Ahmad Dzakirin ini mencoba untuk melihat sisi-sisi kemenangan kelompok “islamis” yang terlembaga melalui AKP dan pengaruh sosok Recep Tayyib Erdogan dalam mendongkrak popularitas partai. Tentu saja disamping karena didukung oleh kemampuan institusi dalam menggerakkan resources yang dimiliki (Resources Mobilization Theory) ditambah dengan tokoh fenomenal yang memiliki reputasi baik, dinamika sosial politik Turki berpengaruh dalam mengantarkan AKP mendapatkan momentum.

Interaksi antara sekularisme dan islamisme di Turki dalam bentuk oposisi dan koalisi sebenarnya terjadi dalam waktu yang sangat lama dan baru menampakkan hubungan yang lebih kondusif di era Erdogan. Di awali dari Necmettin Erbakan yang mendirikan partai Islam pertama dengan nama Milli Nizam Partisi-MNP (Partai Ketertiban Nasional) pada tanggal 26 Januari 1970. Gerakan yang dilakukan oleh kelompok islamis dalam bentuk partai ini merupakan bagian dari protes terhadap rezim sekuler yang korup dan otoriter. Meskipun partai ini kemudian dibubarkan oleh rezim militer, usaha Erbakan untuk terus menjadikan partai Islam sebagai kekuatan politik berpengaruh tidak pernah berhenti. Akhirnya, dengan partai Refah pada Pemilu 1996 dia berhasil mengantarkan partai berbasis Islam ini menjadi kekuatan dominan di pemerintahan. Hanya saja, hubungan antara kelompok Islam dan militer yang penjaga nilai-nilai sekularisme Turki masih diwarnai konflik dan saling mencurigai. Walaupun Erbakan berhasil meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Turki tetapi dimata militer, sosok Erbakan dan gerakannya masih menjadi ancaman. Ini karena Erbakan belum mampu menyelesaikan persoalan ideologi berkaitan eksistensi sekularisme di Turki. Gerakan kudeta militer (soft cu d’eta) pun terulang. Generasi Erdogan-lah yang kemudian dianggap mampu menjembatani hubungan antara kelompok Islam dan militer yang sekuler. Apabila pada masa Erbakan publik bertanya, “Bagaimana pandangan Islam tentang Negara bangsa yang sekuler?” pada era Erdogan mereka bertanya, “Bagaimana Islam berkontribusi dalam Negara bangsa yang sekuler?”

Dengan membaca buku Dzakirin ini kita mendapatkan penjelasan-penjelasan penting tentang bagaimana sebuah Negara yang paling sekuler seperti Turki dapat dikuasai oleh kelompok islamis. Penulis mengawali argumennya dengan dinamika politik yang ada di Turki dan khususnya dinamika internal kelompok “islamis” ini. Apa yang disebut oleh penulis sebagai awal perpisahan antara Guru dan Murid (Erbakan dan Erdogan) karena perbedaan pendapat mengenai metode dan strategi perjuangan Islam melalui partai politik sebenarnya merupakan titik demarkasi antara islamisme dan pos-islamisme. Kelompok muda reformis diwakili Recep Tayyib Erdogan dan Abdullah Gul menganggap gaya kepemimpinan dan pendekatan sang guru spiritual (Hoca) Necmettin Erbakan cenderung otoriter dan kaku yang mengakibatkan jatuh bangunnya partai islamis. Generasi Erdogan yang digambarkan penulis sebagai kelompok muda progresif kemudian memutuskan meninggalkan Erbakan dan membentuk Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi).

Tampilnya AKP secara kokoh, baik di tengah-tengah masyarakat maupun dimata militer pasca-kegagalan gerakan islamisme konservatif inilah yang sering disebut oleh pengamat Islam sebagai era pos-islamisme. Ada semacam perubahan paradigma dalam mengaktualkan cita-cita keumatan yang bebeda dengan kelompok islamisme lama. Beberapa indikasi perubahan itu dapat kita baca dalam analisis Dzakirin yang cukup informatif ini. Perubahan-perubahan itu berkaitan dengan strategi perjuangan dan pemaknaan ideology. Kemampuan barisan Erdogan, misalnya, dalam melakukan reinterpretasi ideologi sekularisme Turki tidak hanya mampu memberikan kenyamanan bagi konstituen Islam, tetapi dapat membangun kepercayaan birokrasi dan militer. Jalan tengah dalam menyelesaikan perdebatan ideologi ini dianggap sebagai cara jenius untuk menyelesaikan kebuntuan hubungan antara kelompok islamis dan militer. Sekularisme lebih dipandang sebagai institusi dan bukan pengejawantahan nilai dalam pribadi. Oleh karena itu, seorang muslim sebagai pribadi dapat berkontribusi secara utuh dalam Negara yang sekuler dengan membawa nilai-nilai agama yang melekat pada dirinya. Pendekatan semacam ini digambarkan juga secara baik oleh Jenny B White (2005) dengan menyebutnya sebagai penguat “muslimhood” (kepribadian muslim).

Perubahan strategi yang lebih terarah terutama berkaitan dengan hubungan internasional juga menjadi bagian penting bagi keberhasilan AKP di Turki. Pada satu sisi, partai ini berusaha untuk memasukkan Turki dalam kekuatan mainstream internasional (Eropa), tetapi pada sisi lain tetap menjaga komitmen pembebasan Palestina. Strategi ini berakibat pada menguatnya posisi Turki di dunia internasional (barat) dan juga di dunia Islam pada khususnya. Peristiwa Arab Spring dan perubahan politik Timur Tengah setelah hampir satu abad lamanya terisolasi dari dunia Arab setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani. Tentu saja reputasi gerakan Islam yang diawali Partai Refah dan dilanjutkan ole AKP dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Turki dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam negeri semakin menguatkan posisi partai ini didepan publik Turki. Baik Erbakan maupun Erdogan telah menunjukkan keseriusannya dalam menyelesaikan problem Turki ditingkat lokal karena keduanya adalah mantan walikota didaerah urban.

Singkat kata, buku ini sangat recommended bagi penggila politik Islam. Selamat membaca!

Judul        : Negara, Pasar, dan Rakyat; Pencarian Makna, Relevansi, dan Tujuan Penulis     : Fahri Hamzah Editor       : Eko Wija...


Judul        : Negara, Pasar, dan Rakyat; Pencarian Makna, Relevansi, dan Tujuan
Penulis     : Fahri Hamzah
Editor       : Eko Wijayanto
Tebal        : xxix + 626 hlm
Penerbit   : Faham Indonesia

Buku yang ditulis oleh Fahri Hamzah ini mencoba menjawab tentang bagaimana posisi tiga entitas pokok peradaban, yaitu Negara, Pasar, dan Rakyat. Dalam buku ini dibahas satu persatu secara sistematis dan ilmiah berdasarkan berbagai referensi.

Dulu ketika pasar sederhana sekali dan dibentuk oleh inisiatif individal dan tanpa intervensi negara seperti sekarang, pasar adalah harapan bersama untuk memenuhi kebutuhan.  Tetapi, kita kini menemukan banyak kegagalan yang akut justru ketika negara  (sebuah entitas lain yang sebelumnya tidak ada) melakukan intervensi penuh. Ini kita sebut sosialis. Sekarang permasalahan menjadi lebih kompleks ketika pasar dikoopotasi oleh mereka yang memiliki akses kekuatan kapital. Ini kita sebut kapitalis.

Adapun tentang negara, kekuasaan atasnya sulit dijaga agar tetap amanah. Meski secara umum semua sepakat mendirikan negara tetapi kekuasaan selalu memiliki tendensi meyimpang. Alasan yang paling umum atas penyimpangan ini adalah karena banyak yang tidak mengerti bahwa negara itu berasal dari rakyat.

Yang terakhir adalah tentang rakyat yang eksistensinya adalah sebagai sebab utama dari kekuasaan. Rakyat bisa kapan saja dihegemoni oleh pasar dan negara jika kebebasan dan partisipasinya buruk. Itulah sebabnya rakyat memerlukan “kelompok berdaya”  yang merdeka dan memiliki kemampuan untuk melakukan kritik dan mobilisasi opini publik melalui media massa dan gerakan sipil lainnya.

Ketiga entitas tadi, yang seringkali dalam oposisi secara diametrikal diramu secara cerdas dan lugas oleh penulis. Penulis telah berani bereksperimen secara intelektual untuk mengurangi ketegangan antar ketiga entitas tersebut. Menurut penulis negara dan rakyat bisa menjadi mitra sejajar dalam mengusung pembangunan bersama dengan pasar sebagai medium kekuatannya.

Hal yang menarik dari buku ini adalah adanya pembahasan khusus masalah agama sebagai salah satu komponen terpenting. Agama menurut penulis dapat menjelma menjadi institusi atau bahkan dalam bentuk negara. Institusionalisasi agama yang merambah ke ruang publik akan menjadi persoalan tersendiri dalam corak kehidupan yang lebih plural, majemuk, dan heterogen. Penulis tidak memosisikan diri dalam kawah peraduan pemikiran tertentu, namun selalu dalam upaya membincang dan menegosiasi pilihan-pilihan yang ada untuk “ditawarkan”.

Buku ini sangat direkomendasikan untuk para politisi dan regulator atau pembaca yang memiliki perhatian terhadap keduanya. Tentunya karena tugas melakukan kombinasi negara, pasar, dan rakyat adalah tugas politisi dan pembuat kebijakan. Selamat membaca!

Di penghujung Ramadhan, perlu kiranya kaum beriman (mukmin) melihat ke dalam diri mempertanyakan apakah sudah mencapai ketakwaan sebag...


Di penghujung Ramadhan, perlu kiranya kaum beriman (mukmin) melihat ke dalam diri mempertanyakan apakah sudah mencapai ketakwaan sebagaimana yang dimaksudkan ayat “la’allakum tattaquun”? Untuk mempermudah kita menjawab pertanyaan tersebut, kita coba uraikan makna takwa dan pemahaman terhadap konteks makna tersebut.


Dalam kitab-kitab klasik, biasanya takwa diartikan sebagai “imtitsalul awaamir wajtinaabun nawahi”, menjalankan apa yang diperintahkan (perintah-perintah) dan menjauhi apa yang dilarang (larangan-larangan). Jadi secara harfiah pasca Ramadhan diharapkan kaum beriman bisa merealisasikan makna takwa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Artinya ada dampak nyata dari puasa yang dijalankan selama sebulan penuh.

Jika kita pikirkan ulang, sebenarnya ada hal yang unik dalam konsep puasa sebagai sarana mencapai ketakwaan. Puasa itu sendiri tentu bagian dari aktifitas takwa karena berupa menjalankan perintah menahan lapar, haus, dan hubungan seksual sekaligus menjauhi hal-hal yang merusak puasa seperti perilaku negatif dalam berinteraksi dengan orang lain berupa dusta, pertengkaran, dan lainnya. Jadi, secara filosofis ayat tentang perintah puasa di atas adalah ayat tentang ekstensi amal yang berkelanjutan, yakni amal baik harus melahirkan amal baik berikutnya, dimana sarana berupa amal baik ditujukan untuk melahirkan amal baik berikutnya.

Itulah falsafah hidup ini! Allah mengisyaratkan bahwa secara kontinyu isi kehidupan kita adalah takwa yang melahirkan takwa berikutnya sampai masing-masing kita menghadap Allah. Secara spesifik saatnya kita telusuri, amal apa yang lahir dari puasa sebulan penuh ini? Pertama, kaitannya dengan hablun minallah (ikatan dengan Allah), minimal yang dilahirkan adalah kemampuan berpuasa sunah, disiplin membaca Al-Qur’an, disiplin dalam salat wajib, dan mampu melaksanakan salat sunah lebih banyak lagi karena terlatih dengan salat tarawih. Jika pasca Ramadan malah amal-amal itu hilang seketika, tidak berkelanjutan maka sepertinya kedudukan kita tidak sampai pada posisi takwa yang diisyaratkan ayat perintah puasa.

Kedua, kaitannya dengan hablun minannaas (ikatan dengan manusia), nuansa empati dan simpati terhadap mustadh’afin (kaum lemah, baik lemah secara finansial maupun status sosialnya) harusnya mendorong gerakan solidaritas sosial-ekonomi yang nyata pasca Ramadhan. Lebih jauh lagi, sikap yang lahir tidak hanya berupa kedermawanan terhadap kaum marjinal, tetapi membersamai mereka juga dalam upaya advokasi pemenuhan hak-hak mendasar mereka.

Dengan pemaknaan yang lebih mendalam terhadap puasa sebagai sarana mencapai takwa, setidaknya kita tidak ‘terlalu’ tertipu dengan selebrasi kemenangan semu yang dimeriahkan oleh banyak orang dan media-media yang saling bersahutan mendendangkan “minal ‘a’idin wal faizin” dan “mohon maaf lahir dan bathin”.

Mengawal Peserta Pemilu Peserta Pemilu yang merupakan kandidat wakil rakyat (anggota legislatif; DPR, DPRD, dan DPD) dan pemimpin n...


Mengawal Peserta Pemilu

Peserta Pemilu yang merupakan kandidat wakil rakyat (anggota legislatif; DPR, DPRD, dan DPD) dan pemimpin negara (presiden dan wakil presiden) harus diuji isi pikiran dan hatinya. Secara pikiran apakah benar-benar memiliki ide-ide orisinal dan brilian untuk kesejahteraan bangsa atau hanya berisi ide-ide dangkal dan hanya berkutat di tema-tema dan jargon-jargon populis untuk mendulang suara rakyat. Terkait hatinya, apakah ada kesungguhan dan tekad murni untuk mengabdi atau hanya berisi ambisi materi dan aktualitas diri. Isi pikiran tentu bisa diuji melalui mimbar-mimbar yang berisi dialog intelektual terbuka. Adapun isi hati, sulit dibedah secara objektif, maka record pengabdian kandidat perlu dilihat agar pemilih memiliki gambaran sepak terjang hidupnya, apakah ia adalah golongan pragmatis yang tak dapat dipercaya, atau golongan pengabdi yang idealis dengan rekam jejak pengabdian yang nyata.

Adapaun partai politik sebagai elemen yang memiliki kewajiban menjadi public educator seharusnya diuji platformnya, apakah benar-benar memiliki konsep yang komprehensif dan tajam dalam isu-isu kebangsaan. Sekaligus para pimpinan Parpol apakah benar-benar menguasai platform partainya atau hanya pandai beretorika untuk bemain klaim keberpihakan partainya kepada masyarakat secara utuh, tanpa ada kepentingan pragmatis untuk mengamankan kepentingan segelintir pemilik kapital. Maka mahasiswa harus berani secara terbuka menyelenggarakan uji publik di kampusnya masing-masing sesuai isu kemasyarakatan yang dipandang sesuai dengan kompetensi utama kampusnya. Jika tidak di kampus, di mana lagi tempat yang paling tepat untuk digunakan sebagai panggung intelektual penguji Parpol dan para politisi yang ada di dalamnya?

Uji publik yang bersifat dialogis, bukan kampanye monologis, sepertinya sekarang menjadi kebutuhan mendesak. Banyaknya para Caleg dan boleh jadi termasuk Capres-Cawapres yang hanya mengutamakan popularitas untuk mengejar elektabilitas menjadikan iklim demokrasi di negeri ini seolah berjalan tanpa substansi dan narasi yang komprehensif dan tajam. Sangat berbeda dengan nuansa dialog politik di awal-awal masa founding fathers mendeklarasikan kemerdekaan negara ini; sangat kental dialog ideologis dan kritis, tetapi dengan nuansa hati yang saling legowo dengan realitas politik yang ada.

Mengawal Pemilih dalam Pemilu

Apakah pemilih sekarang sudah cerdas? Sebagian politisi selalu mengklaim bahwa masyarakat Indonesia sudah cerdas dalam politik sehingga tidak bisa dibohongi lagi. Sayangnya klaim itu hanya disampaikan dalam rangka membantah dan menyerang lawan politik biasanya. Untuk mengukur kecerdasan politik pemilih, jika kita ingin overestimate maka lihatlah civitas akademika kampus, karena kandang budaya intelektual ada di sana. Apakah masyarakat kampus memahami filosofi politik dan sadar setiap hari berhadapan dengan produk politik (termasuk rektor yang dipilih melalui proses dan lobi-lobi politik)? Apakah mereka berfikir rasional dan tidak emosional dalam membela atau menolak suatu partai atau seorang Caleg maupun Capres-Cawapres? Apakah mereka terbuka dalam debat gagasan atau ide-ide politik?

Silakan pembaca menjawab masing-masing pertanyaan di atas. Jika berkesimpulan bahwa mayoritas masyarakat kampus belum berpikir sejauh dan sedalam itu, maka kita masi memiliki PR kecerdasan politik di kampus sebagai kandang budaya intelektual. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana kondisi pemilih di luar kampus? Bagaimana kondisi pemilih di perkampungan, pedalaman hutan dan pesisir pantai yang seringkali identik dengan keterbelakangan pendidikan dan kelemahan finansial? Apakah mereka dapat membedakan money politic dan hibah dari kebaikan aktor-aktor politik? Itulah sebabnya, mahasiswa harus mengambil peran sebagai public educator, jangan berharap terlalu jauh kepada Parpol walaupun secara konstitusional tangung jawab edukasi politik sebenernya ada pada Parpol.

Sepengetahuan saya, banyak organisasi intra dan ekstra kampus yang bermitra dengan KPUD dalam sosialisasi Pemilu. Sosialisasi berupa kegiatan memberikan informasi peserta pemilu, cara memilih, aturan mengenai DPT, dll. Ini adalah budaya yang cukup baik. Selanjutnya perlu dikembangkan menjadi kegiatan yang lebih kritis lagi khusus civitas akademika kampus, seperti dialog terbuka urgensi partisipasi dalam Pemilu maupun sebaliknya alasan Golput (Golongan Putih/tidak memilih) yang lebih filosofis. Kenapa golput juga bisa dibincangkan tidak sekedar ditolak? Sekali lagi, masyarakat kampus harus terbuka dengan berbagai sikap politik. Tetapi sikap politik yang jelas pijakan ideologisnya, bukan sekedar sikap politik yang fatalis. Selama ini golput biasanya lahir karena sikap fatalis, merasa tidak ada harapan sama sekali terhadap semua peserta Pemilu dengan asumsi semua peserta Pemilu adalah politisi pragmatis yang hanya mencari kuasa dan harta. Padahal Golput akan lebih kuat sebagai sikap jika dilandasi ide-ide filsafat anarki (anarkisme) yang menolak adanya negara sebagai distributor keadilan dan pencipta kebebasan misalnya.

Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu oleh KPU di Surabaya (Foto:https://news.detik.com/)

Terkait partisipasi, ada hal yang perlu diperhatikan khusus bagi organisasi kemahasiswaan, yaitu advokasi DPT dari kalangan mahasiswa yang akan memilih di TPS sekitar kampus. Aturan terkait ini perlu didalami. Biasanya mereka akan dikategorikan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan didistribusikan ke banyak TPS di sekitar kampus. Seingat saya, KPU belum mengubah aturannya melarang pendirian TPS khusus untuk DPTb karena alasan tendensi dan potensi penggelembungan suara. Pengalaman saya, mengurus advokasi ini cukup menguras banyak SDM, waktu, dan anggaran karena berkaitan dengan banyak berkas administrasi, proses yang cukup lama, dan biaya mobilisasi yang cukup besar untuk memastikan mahasiswa menjangkau TPS mereka masing-masing. Sebenarnya, jika TPS baru khusus mahasiswa bisa diadvokasikan, ini akan menjadi pilihan yang paling baik.

Tidak lupa, untuk membangun budaya aktif dan partisipatif dalam proses politik, sebaiknya dibuka kanal volunteer bagi mahasiswa untuk ikut serta sebagai pelaksana sosialisasi dan diskusi-diskusi terbuka tentang Pemilu, relawan pengawas Pemilu, maupun Pers Mahasiswa yang berperan sebagai Watchdog. Saya kira, tambah banyak masyarakat intelektual yang berpartisipasi secara sadar dan rasional dalam proses politik akan menjadikan iklim demokrasi di negeri ini bertambah sehat.

Demonstrasi Mahasiswa Tiba saatnya menghadapi hajatan politik lima tahunan, Pileg dan Pilpres serentak 2019. Hampir semua elemen masya...

Demonstrasi Mahasiswa
Tiba saatnya menghadapi hajatan politik lima tahunan, Pileg dan Pilpres serentak 2019. Hampir semua elemen masyarakat gaduh membincangkannya, tak terkecuali mahasiswa sekarang yang notabennya generasi milenial yang lebih banyak membuka perbincangan terbuka di media sosial.

Sebagai eksponen, dan bisa dibilang veteran dari gerakan mahasiswa, saya ingin mencoba memberi gambaran peran yang bisa dilakukan dalam mengawal Pileg dan Pilpres agar bisa berjalan secara sehat, transparan, dan mendewasakan masyarakat demokrasi di negeri ini. Sebenarnya ini terlihat mustahil karena sebagian para politisi malah bermanuver agar proses demokrasi bersifat transaksional, diisi deal-deal tertutup, dan membiarkan masyarakat tetap awam terhadap substansi politik yang lebih rasional. Tentunya karena memiliki kepentingan pragmatis materialis dalam proses demokrasi yang cacat dan bersifat emosional. Akan tetapi, menyerah terhadap hal yang tampak mustahil bukan pilihan kita. Setidaknya kita tetap idealis dan memilih menjalani kehidupan dan mati dengan membawa idealisme itu ke alam kubur.

Ketika malam takbiran Idul Fitri kemarin, saya menyempatkan ngobrol dengan guru ngaji saya waktu kecil. Beliau adalah orang yang me...


Ketika malam takbiran Idul Fitri kemarin, saya menyempatkan ngobrol dengan guru ngaji saya waktu kecil. Beliau adalah orang yang mengajar saya dan kawan-kawan sebaya saya ketika duduk di sekolah dasar dan menengah pertama. Beliau mengajar teori dan praktik bacaan Al-Qur’an dan beberapa ilmu agama mendasar seperti fiqh, aqidah, akhlak, sampai melatih berbagai kesenian Islam-Sunda seperti rudat (tarian semi beladiri yang diiringi tabuhan rebana besar dan bedug), nad(z)om-an (sya’ir sejarah Nabi Muhammad yang dilagukan dan ditampilkan ketika acara maulid), deba-an (sya’ir dalam kitab diba’i), dan membuat dekorasi berbagai perayaan hari raya Islam.


Di tengah rehat takbiran, beliau menyampaikan keresahannya tentang krisis orang-orang yang mau dan mampu menjalankan dan memimpin ritual-ritual keagamaan di kampung, mulai dari yang memandikan jenazah jika ada yang meninggal, memimpin sholat berjamaah, adzan di musholla, memimpin tradisi/ritual aqiqah, dan memimpin tadarrus-an setelah tarawih. Saya hanya bisa mendengarkan dengan seksama bercampur kesedihan yang mendalam. Seolah-olah ada suara dari hati saya, seharusnya saya yang memikul dan meringankan beban guru saya yang sudah beruban banyak itu. Para Kyai di kampung sudah banyak yang wafat, sementara penerusnya tidak sebanyak yang wafat.

Bagi masyarakat perkampungan, zaman semakin keras. Kehidupan pengabdian tanpa bayaran dan apresiasi publik menjadi tidak menarik. Bayangkan saja, guru ngaji saya yang mengajar anak-anak dan remaja hampir puluhan tahun tak pernah digaji sepeserpun, murni pengabdian. Sehari-harinya mencari nafkah dari bertani. Saya yang waktu masi kuliah mengajar privat dua jam saja sudah dapat seratus ribu rupiah.

Sementara itu, masyarakat perkotaan yang cenderung kering akan nuansa agama menjadi bergairah setelah gerakan-gerakan dakwah dari berbagai aliran menyentuh kampus-kampus tempat bersemainya multi ideologi sejak zaman penjajahan. Khususnya, anak-anak muda di kota berubah lebih dinamis dan menjadi promotor kesalihan-kesalihan sosial, walau kadang ada yang terlalu jauh melangkah menjadi reaktif dan kurang mampu memahami sekaligus menerima keragaman pemikiran dan tradisi Islam.

Kembali Ke Kampung-Kampung Sebagai Solusi, Bukan Ancaman

Ketika mudik hari raya, sebagian muslim modernis yang berkembang di perkotaan, terutama yang berkembang oleh stimulus halaqoh-halaqoh/mentoring keagamaan kadang tidak luwes berinteraksi dengan masyarakat kampung halaman dan tidak aktif mengisi pos-pos publik keagamaan. Ada gap budaya dan pemikiran. Di sinilah tantangan mereka, idealnya mereka bisa melampaui gap itu dan menjadi magnet kesalihan sosial di mana pun mereka berada. Jika tidak, mereka akan dianggap ancaman konservatisme agama di kampung-kampung karena membawa style agama dan pilihan fiqh yang berbeda.

Setidaknya, dalam pikiran saya ada dua hal yang perlu dilakukan oleh kaum Islam modernis ini di kampung halamannya masing-masing. Pertama, menjaga silaturahim dengan tetangga, kerabat, dan tokoh-tokoh masyarakat jika memungkinkan. Tradisi berkunjung, ramah tamah, dan dialog/mengobrol menjadi penting untuk dimasukkan ke dalam agenda wajib. Bahkan menjadi misi ketika mudik ke kampung halaman.

Kedua, partisipasi aktif dalam tradisi keagamaan. Paling tidak, yang laki-laki selalu menjadi yang terdepan berjamaah di masjid, bahkan minimal menjadi muadzin jika pos-pos di masjid atau di musholla hanya orang-orang yang sudah sepuh yang mengisi. Tampakkan bahwa kepulangan kita ke kampung halaman adalah kepulangan kontributor kesalihan sosial, bukan kaum urban yang hanya membawa polusi perkotaan, pulang ke kampung halaman hanya membawa ampas materialisme dan hedonisme perkotaan.

Jadi kajian-kajian ataupun pembinaan-pembinaan keagamaan di perkotaan idealnya banyak melahirkan praktisi fiqh, bukan teoritis fiqh, mendalam teori hukum-hukum agama tetapi tidak mampu mempraktikan dan mencontohkannya di tengah-tengah masyarakat kampung halamannya. Bahkan sebagiannya ada yang meloncat ke tema-tema open mind dalam hidup, tapi tidak mampu open mind terhadap khazanah kehidupan agama di perkampungan.

Di sini bukan berati saya menyarankan untuk menjadi muslim tradisionalis, karena nyatanya banyak yang berlayar dalam arus Islam tradisional gagal mencetak SDM yang mampu memompa denyut nadi kesalihan sosial di perkotaan karena terlalu curiga dengan gerakan-gerakan dakwah Islam transnasional dan berkutat pada klaim-klaim ahlus sunnah wal jamaah yang terlalu sempit. Bahkan sebagiannya malah sibuk berfilsafat dan melakukan kontestasi ide-ide dan intuisi tasawuf sampai lupa mengentaskan problem umat yang mayoritas bersifat materil dan banyak mengalami penindasan di berbagai belahan dunia. Saya sempat berpikir, lebih baik pengajian dengan Al-Qu’an terjemahan yang menggairahkan umat daripada pengajian filosofis, berbahasa Arab dan bersanad yang tidak menciptakan perubahan sosial yang signifikan.

Saatnya Menghayati Kesenyapan Para Pahlawan di Perkampungan

Setelah obrolan panjang dengan guru ngaji saya, teringat teman saya lulusan Universitas Al-Azhar Kairo yang menjadi guru dan penceramah di pedalaman Kalimantan. Sempat bertemu dua tahun lalu di pondok pesantren tempat saya dan dia menimba ilmu waktu masih duduk di sekolah menengah atas. Katanya, hampir setiap hari dia menempuh belasan kilometer dengan sepeda motor untuk berceramah dan mengajar ngaji dari kampung ke kampung. Banyak yang belum bisa baca Qur’an, banyak yang sangat awam terhadap ajaran agama.

Sebenarnya memang banyak sekali, terutama jaringan halaqoh-halaqoh dan gerakan pendidikan-sosial-keagamaan yang dikirim ke berbagai pedalaman. Aktifitas mereka jarang sekali diikuti corong-corong kamera untuk didokumentasikan, di-publish, dan di-branding sedemikian rupa seperti gerakan-gerakan sosial-pendidikan yang muncul belakangan. Puluhan tahun gerakan masyarakat itu telah menjangkau sudut-sudut nusantara ini. Mereka bergerak dalam senyap.

Akhirul kalam, semoga Allah merahmati para guru ngaji di kampung-kampung. Ibarat mata air, mereka selalu mengalirkan manfaat tanpa balas jasa harta maupun cindera mata tanda penghargaan dari manusia.